Pagi itu hari Sabtu tanggal 23 bulan Maret tahun 2013, aku membuka mata dari istirahat malamku. Memulai pagi dengan senyum merekah di wajah yang akan membawa semangat dalam menjalani empat hari kedepan. Hiruk pikuk kota Jogja pagi itu belum terihat. Ya, kami peserta kemah Mahabhakti memang dipaksa untuk berangkat lebih awal. Di sekolah, keramaian mulai terjadi. Para peserta sibuk mempersiapkan barang-barang dan mendaftar barang tersebut. Suasana mulai tenang saat upacara pembukaan akan dilaksanakan. Semua mengikuti upacara dengan khidmat. Beberapa waktu setelah upacara selesai, suara bising truk-truk mulai terdengar. Ya, truk itu yang akan mengantarkan kami ke bumi perkemahan. Sekali lagi, kami diantar oleh truk. Rona wajah peserta mulai cerah saat melihat truk-truk itu datang.
Di perjalanan, mungkin peserta lain sama denganku. Mengeluh kepanasan. Mahabhakti belum dimulai saja, kami sudah diuji dengan diangkut truk, macam sapi-sapi yang akan diqurban. Harapan kami untuk diturunkan di bumi perkemahan pupus sudah. Kami tidak diturunkan di bumi perkemahan. Melainkan di sebuah lapangan yang dikelilingi oleh bukit-bukit. Sangat sepi, hanya terdengar suara jangkrik. Peserta diturunkan di lapangan itu ternyata punya tujuan. Ya, kami diharuskan oleh panitia Mahabhakti untuk berjalan sekitar 2 kilometer atau lebih, aku tak tahu pastinya. Peserta mulai mengeluh. Seperti tak ada semangat lagi, padahal ini baru kegiatan pertama dalam kemah Mahabhakti ini. Untuk berangkat menjalani kegiatan perjalanan bhakti saja sudah menyebalkan. Kami harus menjawab pertanyaan dan tebak-tebakan yang diberikan sangker atau sangga kerja.
“Sekarang pertanyaan untuk Ratnaningsih. Kan aku bendahara di ambalan Ratnaningsih, nah pasanganku yang menjadi ambalan Alibasyah siapa? Ada yang tau?”, tanya seorang sangker.
Seketika suasana hening. Tak ada yang tau jawaban dari itu. Tiba-tiba salah seorang anggota sanggaku mengacungkan tangan, hanya mengacungkan tangan tidak menjawab. Kami menebak-nebak dengan menyebutkan semua nama sangker putra. Pertanyaan itu belum juga terjawab.
“Mas Aliya!”
“Ya benar. Kalian boleh berangkat sekarang.” Akhirnya giliran kami untuk menjalankan perjalanan bhakti datang. Tapi anggota sanggaku yang mengikuti perjalanan bhakti tidak lengkap. Anggota sanggaku yang berjumlah 9 orang, hanya 6 orang yang tersisa yang bisa mengikuti kegiatan itu 2 orang dari sangga kami sakit dan 1 orang sisanya menjadi penjaga pos. Jadilah hanya kami berenam yang menjalankan perjalanan berat ini. Aku, Nadia, Nani, Naila, Azizah, dan Fariza. Kami berenam berusaha untuk kompak dan solid dalam kegiatan ini. Ada tiga pos dalam perjalanan bhakti ini. Tiga pos memang sedikit, tapi ternyata jarak antar pos mungkin bisa sampai 1 kilometer.
Pos pertama berhasil kami lewati, tak ada rintangan apapun, mungkin hanya keluhan-keluhan kecil kami karena kecapaian. Saat perjalanan menuju pos kedua yang sangat jauh, banyak cobaan yang kami hadapi. Tas ransel yang mengangkut bekal untuk perjalanan bhakti putus. Dengan ujian itu kami jadi kesulitan untuk membawanya. Yang kedua, kami berenam mulai kekurangan air. Dan itu memang cobaan terberat. Karena air sangat berperan penting dalam perjalanan ini.
Sinar matahari mulai ganas, aku tak tau tepatnya jam berapa. Yang jelas, sinar itu sangat menyengat dikulit. Belum sampai di pos kedua kami mulai sangat kelelahan. Padahal kami sudah beristirahat satu atau dua kali. Ya, perjalanan itu tidak seperti apa yang kami bayangkan. Perjalanan itu sangat jauh. Kaki-kaki kami mulai terasa patah. Keringat mulai menggumpal menjadi daki.
“Mau istirahat dulu?” tanyaku pada teman-teman.
“Terserah yang lain saja”, timpal salah satu temanku, Naila.
“Iya istirahat dulu, itu dibawah pohon jambu aja.” Jawab Nani. Kami mulai bersantai dan merenggangkan kaki di bawah pohon.
Terlihat ibu, bapak, dan anak yang sedang memanen jambu.
“Mau kemping dik?” tanya ibu itu.
“Iya bu.” Jawab kami hampir bersamaan.
“Kempingnya di buper dekat wisma itu ya?” tanya ibu itu lagi.
“Mungkin bu, kami juga tidak tahu karna tugas kami juga mencari buper itu. Masih jauh nggak bupernya bu?” tanya kami penasaran. Ibu itu terlihat berpikir,
“Ooooh itu ada disana tadi itu, mungkin kalian diputar-putar dulu”. Mulut kami menganga, mungkin pikiran kami sama. Antara bingung apa yang dikatakan ibu-ibu itu dan percaya dengan perkataan ibu itu.
“Bu, itu jambunya boleh dipetik?” tanya temanku yang memang sejak dari tadi lapar.
“Boleh dik, ini kan punya proyek, punya kabupaten.” Sahut bapak-bapak yang sedang memanjat untuk memetik buah jambu. Dengan air muka yang terlihat lebih cerah dari sebelumnya, kami semangat untuk memetik buah jambu itu.
“Hati-hati dik, itu jurang, nanti jatuh”, was-was bapak itu. Aku ikut mencoba buah itu.
“Hoeeeek, asem banget”, keluhku. Teman-teman tertawa.
“Tak apalah yang penting perutku terisi”, jawab Nani dengan polosnya. Kami semua tertawa lepas.
“Mau kemping dik?” tanya ibu itu.
“Iya bu.” Jawab kami hampir bersamaan.
“Kempingnya di buper dekat wisma itu ya?” tanya ibu itu lagi.
“Mungkin bu, kami juga tidak tahu karna tugas kami juga mencari buper itu. Masih jauh nggak bupernya bu?” tanya kami penasaran. Ibu itu terlihat berpikir,
“Ooooh itu ada disana tadi itu, mungkin kalian diputar-putar dulu”. Mulut kami menganga, mungkin pikiran kami sama. Antara bingung apa yang dikatakan ibu-ibu itu dan percaya dengan perkataan ibu itu.
“Bu, itu jambunya boleh dipetik?” tanya temanku yang memang sejak dari tadi lapar.
“Boleh dik, ini kan punya proyek, punya kabupaten.” Sahut bapak-bapak yang sedang memanjat untuk memetik buah jambu. Dengan air muka yang terlihat lebih cerah dari sebelumnya, kami semangat untuk memetik buah jambu itu.
“Hati-hati dik, itu jurang, nanti jatuh”, was-was bapak itu. Aku ikut mencoba buah itu.
“Hoeeeek, asem banget”, keluhku. Teman-teman tertawa.
“Tak apalah yang penting perutku terisi”, jawab Nani dengan polosnya. Kami semua tertawa lepas.
Lepas menikmati buah jambu sambil melanjutkan perjalanan, tak terasa kami sudah sampai pos dua. Dan pos itu ternyata terletak disamping Waduk Sermo. Ya, waduk itu sangat indah. Seketika rona wajah kami berubah 180 derajat. Padahal kami masih harus melewati satu pos lagi. Melihat pesona indahnya Waduk Sermo memang membuat hati senang. Ya, pada hakikatnya memang bahagia itu sederhana.
“Waaaaaah, sumpah bagus banget!”, teriak Nadia.
“Keren maksimal”, gumamku.
“Subhanallah”, suara lirih Naila terdengar ditelingaku. Mata kami semua seketika berbinar.
“Bagaimana? Bagus kan? Terbayarkan capainya? Sini foto dulu”, sahut seorang alumnus sekolahku sambil tersenyum merekah.
“Mauuuu!” Balas kami spontan.
Setelah berhasil melewati pos dua kami memulai perjalanan menuju pos tiga dengan semangat. Menjumpai pesona Waduk Sermo memang seperti menjadi pos isi ulang semangat. Kami benar-benar mempunyai semangat baru. Biarpun kaki terasa patah, badan pegal, dan berpeluh keringat, sugesti mempunyai semangat baru memang menjadi sugesti positif.
Sampai juga kami di pos ketiga. Pos terakhir dan mungkin pos tempat kami mengeluh. Kakak penjaga pos berkata bahwa bumi perkemahan sudah dekat. Rona wajah kami kembali cerah. Dan akhirnya sampai di bumi perkemahan. Sangga kami termasuk sangga awal yang sampai di bumi perkemahan. Tapi, ternyata masih ada tugas lagi yang harus kami lakukan. Sampai di bumi perkemahan bukan istirahat, melainkan kami masih mempunyai kewajiban untuk membangun tenda.
Dalam keadaan mood yang berantakan, pikiran yang berantakan, pusing di kepala, dan tentunya rasa lelah yang masih melekat, ditugaskan membangun tenda bukan merupakan kegiatan yang tepat. Kami membangun tenda dengan suasana hati yang tidak karuan. Kami badmood berat. Kami berenam mulai mengeluh sambil tetap membangun tenda. Aku tahu, dengan mengeluh memang tidak akan merubah keadaan. Tapi dengan mengeluh, hatiku merasa lega. Itu saja yang aku inginkan. Pembangunan tenda pun selesai. Kami mulai mengangkat barang-barang ke atas dan menaruh di samping tenda dengan keadaan kami yang mengenaskan.
Selesai semua tugas kami. Aku dan Nadia memutuskan sholat untuk menenangkan hati. Saat turun ke bawah untuk ke masjid, kami pikir tempat wudhu berada di dekat masjid, tapi kenyataannya berbeda. Tempat wudhu putri berada di atas. Karena kami mulai kelelahan, kami terpaksa bewudhu di tempat putra, yang memang keadaannya sepi. Saat menuruni tangga tiba-tiba terdengar suara.
“Hei hei! Kalian mau kemana?”, tanya seorang sangker putra, Kak Daus namanya.
“Mau wudhu”, sahut Nadia.
“Tempat wudhu kalian itu di atas, itu tempat wudhu putra!” timpal teman Kak Daus, namanya Kak Reza.
“Ya itu lagi sepi tempat wudhunya. Capek mas ke atas”, keluh Nadia.
“Tidak bisa, salah kalian sendiri nggak tanya dahulu sama yang ada di atas”
“Ya ampun, kan nggak tahu mas. Cuma wudhu kan nggak papa”
“Terserah, pokoknya tempat wudhu di atas, nanti kalau diapa-apain gimana?”
“Ya ampun, siapa juga yang mau ngapa-ngapain kita”, jawab Nadia kesal.
“Yaudah, pokoknya cepat ke atas!” bentak Kak Daus
“Iya! Nggak usah bentak-bentak bisa? Mau sholat saja susah.”, teriakku pada sangker itu. Kami langsung meninggalkan orang menyebalkan itu.
Tiba-tiba dadaku sesak. Kepalaku berat. Rasanya tak ada bahagianya dan tak ada gunanya mengikuti kemah itu. Hanya mendapatkan lelah dan bentakan. Aku benci dua hal itu. Semua pikiran pendekku mulai menyerbu otak. Membuat hati tak kuat, dan mengeluarkan air mata. Aku menangis. Aku seperti orang lemah.
Selesai sholat, hatiku mulai tenang. Pikiranku mulai jernih. Aku dan Nadia memutuskan untuk makan siang di sore hari. Setelah istirahat, sholat dan makan, kami masih harus melakukan kegiatan upacara pembukaan kedua. Lepas Maghrib, kami mulai menata tenda dan menyiapkan makan malam. Salah seorang temanku, Jugi menyiapkan makan malam.
“Bahan makanannya hilang!” tiba-tiba ada suara teriakan dari belakang tenda, suara Jugi. Sontak kami semua kaget dan mencari-cari dalam keadaan gelap. Aku dan Nadia berlari menuju sekretariat untuk melaporkannya.
“Mbak bahan makanan kita hilang.”, keluhku.
“Di tempatkan apa?”, tanya seorang sangker putri.
“Kantong kresek garis-garis hitam putih”.
“Coba dilihat itu di sana!”, sahut seoarang sangker putra. Melihat di sana ada kantong kresek sesuai ciri-ciri bahan makanan milik kami, hati kami mulai merasa lega. Saat aku dan Nadia mengecek, ternyata ada kertas bertuliskan ‘PENCOBA 2’ yang menempel di kresek tersebut. Sesak sekali rasanya.
“Itu bukan dik?”, tanya salah seorang sangker putri.
“Bukan itu mbak, itu milik pencoba 2. Bayangkan mbak, itu bahan makanan kita selama 4 hari. Kalo hilang terus kami mau makan apa 4 hari kedepan?”, keluhku.
“Jadi kalian belum makan? Ya kalian ke tenda dulu, istirahat. Nanti kami cari.” Jawabnya.
“Nggak bisa lah mbak. Kita nggak bisa tenang kalau belum ketemu”, keluh Nadia.
“Yaudah, minum nih energennya, kalian berdua belum makan kan?, tiba-tiba ada suara seorang sangker putra, namanya Kak Adit.
Melihat keributan, salah seorang sangker putra yang siang tadi membentak kami, datang. Kebetulan jabatannya sebagai seksi keamanan.
“Bagaimana? Ada apa? Apa yang hilang?” tanya Kak Daus
“Bahan makanan.”, jawabku pendek.
“Apa? Dicuri sangga putra? Ayo tak temenin ke sangga putra.”
“Apa? Ke sangga putra? Mana boleh.”, balas Nadia.
“Sama keamanan kok, rapopo. Ayo Feb, kancani bocah loro iki”, ajaknya.
Karena wilayah sangga putra gelap, kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Dan berpikir apakah mau melanjutkan atau tidak.
“Ayo nggak papa, ini sama sie keamanan kok. Eh, senternya kok ra terang. Sek tak ganti senter sek. Titip, Feb”, kata sangker putra itu.
“Ilangnya gimana?”, tanya teman Kak Daus. Namanya Febri.
“Ya kan tadi barang semua dikumpulkan di lapangan. Kita lupa buat ambil.” Keluhku.
“Lah kan kalian sendiri yang lupa”, balas Mas Febri santai.
“Yaudah sih kami tadi siang itu badmood, kalau kita suruh angkat barang dari bawah ke atas malah nambahin badmood. Mana sempat memikirkan barangnya.”, bentakku.
“Yaudah, jangan emosi, nanti ini juga mau dicari”
“Bayangin, itu bahan makanan selama 4 hari. Kalo hilang mau makan apa kami?”, sahut Nadia sambil menangis. Aku juga menangis. Untuk yang kedua kali.
“Ya masa panitia nggak ngasih makan. Masa diem aja. Udah, nggak usah nangis kalian.” Jawabnya menenangkan.
“Ilangnya gimana?”, tanya teman Kak Daus. Namanya Febri.
“Ya kan tadi barang semua dikumpulkan di lapangan. Kita lupa buat ambil.” Keluhku.
“Lah kan kalian sendiri yang lupa”, balas Mas Febri santai.
“Yaudah sih kami tadi siang itu badmood, kalau kita suruh angkat barang dari bawah ke atas malah nambahin badmood. Mana sempat memikirkan barangnya.”, bentakku.
“Yaudah, jangan emosi, nanti ini juga mau dicari”
“Bayangin, itu bahan makanan selama 4 hari. Kalo hilang mau makan apa kami?”, sahut Nadia sambil menangis. Aku juga menangis. Untuk yang kedua kali.
“Ya masa panitia nggak ngasih makan. Masa diem aja. Udah, nggak usah nangis kalian.” Jawabnya menenangkan.
Dalam keheningan, tiba-tiba terdengar suara keributan dari sekretariat.
“Diiiiiik! Diiiiik! Tadi adiknya mana?”
“Itu kayaknya kalian dipanggil itu?”, kata Mas Febri. Kami bertiga langsung menuju sekretariat.
“Ya ampun , kenapa nangis dik?” “Udah ketemu belum dik?” “Dik kok nangis?”, terdengar hingar bingar panita menanyakan keadaan kami yang sedang menangis.
“Ini dek udah ketemu.” Kata salah seorang saker putrid sambil tersenyum.
“Sudah nggak usah nangis dik, kan sudah ketemu”.
“Ya ampun. Alhamdulilaaaah. Makasih banyak ya mbak. Makasih banyak.” Kata kami spontan hampir bersamaan.
“Sekarang kalian kembali ke tenda, istirahat, makan, lalu sholat Isya. Habis sholat Isya kita masih ada kegiatan.”, kata seorang ketua sangker. Kami kembali ke tenda dengan penuh ketenangan. Seluruh anggota sangga bersyukur dan bersorak gembira. Bahagia itu sederhana.
“Diiiiiik! Diiiiik! Tadi adiknya mana?”
“Itu kayaknya kalian dipanggil itu?”, kata Mas Febri. Kami bertiga langsung menuju sekretariat.
“Ya ampun , kenapa nangis dik?” “Udah ketemu belum dik?” “Dik kok nangis?”, terdengar hingar bingar panita menanyakan keadaan kami yang sedang menangis.
“Ini dek udah ketemu.” Kata salah seorang saker putrid sambil tersenyum.
“Sudah nggak usah nangis dik, kan sudah ketemu”.
“Ya ampun. Alhamdulilaaaah. Makasih banyak ya mbak. Makasih banyak.” Kata kami spontan hampir bersamaan.
“Sekarang kalian kembali ke tenda, istirahat, makan, lalu sholat Isya. Habis sholat Isya kita masih ada kegiatan.”, kata seorang ketua sangker. Kami kembali ke tenda dengan penuh ketenangan. Seluruh anggota sangga bersyukur dan bersorak gembira. Bahagia itu sederhana.
Setelah sholat Isya, kami diharuskan memakai seragam pramuka lengkap dan membawa slayer.
“Bisa cepat tidak kalian?”. “Jangan lupa membawa slayer!”. “Tidak boleh ada yang membawa senter!”. Nada bentak-bentak itu terdengar berisik ditelinga kami. Aku tahu kegiatan ini. Kegiatan kami dibentak-bentak. Kegiatan yang aku benci. Benar saja. Saat kami baris saja menyuruhnya sudah membentak.
Dalam kegiatan itu, kami diharuskan berdiri dan kami dibentak-bentak sesuai kesalahan kami.
“Apa tujuan kalian sekolah di MAN 1 jika kalian tidak tertib? Hah!”. “Mana ULIL ALBAB kalian?”. “JAWAB!! Saya tidak berbicara dengan patung ataupun tembok. Kalian manusia kan? Jawab!”
Kata-kata itu yang sering terdengar saat kegiatan itu berlangsung. Beruntungnya aku tidak mempunyai kesalahan apapun. Tapi sepertinya mereka selalu mencari-cari kesalahan dan membentak.
“Kamu mau melakukan apa untuk menebus kesalahanmu ini?”
Diam. Hening. “Jawab! Saya bicara dengan manusia, bukan patung!”
“Push up 50 kali.” Kata salah seorang anak yang mendapatkan hukuman dengan nada sok tegas untuk menutupi ketakutannya.
“Oh, mau jadi sok kuat kamu?”, bentak seorang alumnus.
“Siap tidak!”, jawabnya lantang.
“Lalu apa tujuan kamu? Hah!”
Diam. Hening. “Jawab! Saya bicara dengan manusia, bukan patung!”
“Push up 50 kali.” Kata salah seorang anak yang mendapatkan hukuman dengan nada sok tegas untuk menutupi ketakutannya.
“Oh, mau jadi sok kuat kamu?”, bentak seorang alumnus.
“Siap tidak!”, jawabnya lantang.
“Lalu apa tujuan kamu? Hah!”
“Untuk mempertanggung jawabkan kesalahan saya.”
“Mau main fisik? Jangan sok kuat! Pake nantangin fisik lagi! KUAT HAH! KUAT? Kalo nggak kuat bilang!” timpal alumnus dengan nada membentak.
Aku tak tahu apa tujuan mereka membentak dan memarahi kami semua. Untuk senioritas? Balas dendam? Mungkin. Jika kegiatan ini turun-temurun. Tradisi bentak-membentak dalam pelantikan tidak akan ada habisnya. Seharusnya tradisi ini dihentikan.
Setelah kegiatan bentak-membentak selesai. Kami diharuskan untuk menutup mata dengan slayer. Ya, kami seperti menjadi lelucon oleh mereka. Saat mata kami ditutup, mereka mempermainkan kami, menyuruh kami menunduk, jongkok, lompat, naik, dan sebagainya. Kami dpermainkan seperti robot. Menyebalkan. Kegiatan bentak membentak dan permainan lelucon robot selesai, kami diberhentikan di wisma. Kami menjalani kegiatan renungan.
Pukul 23.00 Kegiatan hari pertama selesai dan diakhiri dengan upacara penyematan badge PTA. Tapi aku tak mengikutinya. Saat berusaha berdiri tegak untuk baris, kepalaku terasa berat. Pandanganku kunang-kunang. Aku seperti ingin pingsan. Tiba-tiba semua gelap.
Aku membuka mata karena merasakan pijatan halus di kepala dan sentuhan lembut ibu guru mengoleskan minyak kayu putih ke leher dan kepalaku. Ternyata aku berada di tenda komando. Pusing di kepalaku mulai berkurang. Malam hari pertama, aku tidak tidur di tenda bersama teman-teman.
Esoknya, aku kembali ke tenda untuk menemui teman-temanku. Kegiatan hari kedua adalah bersenang. Ya, kami mengikuti kegiatan lomba yang menyenangkan. Tapi setiap hal memang tak ada yang sempurna. Tapi ada suatu kejadian yang membuat aku dan teman-temanku kagol. Saat lomba FKR (Festival Kesenian Rakyat), kami menampilkan tarian daerah dan itu pasti diperlukan musik. Dan soal sound membuat kami kecewa. Panitia tidak mempersiapkan dengan baik.
“Ah yasudahlah, terserah. Kagol.”, keluhku.
“Tau ah. Males ah kalo gini nih”, keluh Nadia melanjutkan keluhanku.
“Maaf ya untuk sangga PERINTIS E, soundnya tidak sesuai apa yang diharapkan”, permohonan maaf disampaikan dari pengurus lomba FKR untuk kategori tari daerah.
“Terserah ah. Kagol. Embohlah.”, keluh teman-temanku lainnya.
“Yaudahlah, nggak papa. Udah minta maaf juga kan sangkernya.”, timpal Jugi menenangkan kami.
Karena permasalahan itu, seketika mood kami turun. Bayangkan saja, kami sudah latihan berhari-hari sampai sore untuk menampilkan yang terbaik untuk lomba ini. Tapi seutuhnya, aku senang dengan kegiatan hari kedua. Memang sudah sepantasnya kami merasakan kesenangan karena di hari pertama, aku benar-benar merasakan siksaan.
Hari kedua berhasil kulewati. Rasa kesal pada hari pertama benar-benar terbayar lunas dengan kesenangan. Bahagia itu sederhana. Malamnya, kami mempunyai kegiatan bebas sesuka hati. Kegiatan itu adalah menonton film “Life of Pi”. Aku menikmati setiap menit film tersebut. Film yang bagus. Tapi yang aku lihat, kebanyakan dari kami mungkin tidur saat menonton film karna kami kelelahan. Dan acara nonton film pun dihentikan karena kebanyakan dari kami sudah terlelap macam ikan teri dijemur.
Aku membuka mata dari tidur lelapku. Kami dibangunkan tidak seperti biasanya. Kami dibangunkan mungkin pukul setengah tiga atau lebih. Kami harus melakukan mujahaddah. Karena kebetulan aku sedang mendapatkan tamu rutin setiap bulan, aku tidak melakukannya.
Kegiatan hari ketiga diawali dengan kegiatan tadabur alam. Kegiatan itu amat menyenangkan walau kami merasa kelelahan. Kami menyusuri hutan, menyebrangi sungai, dan mendaki bukit hingga kembali ke bumi perkemahan. Itu adalah pertama kalinya aku menyusuri hutan. Dan itu menyenangkan. Karena bahagia itu sederhana.
Hari ketiga ditutup dengan kegiatan api unggun. Kegiatan yang mengesankan. Aku menikmati kegiatan itu. Kegiatan utama dan ciri khas dalam perkemahan. Aku menikmati setiap pertunjukan dari peserta mahabhaki ataupun sangga kerjanya. Malam itu, aku merasa bahagia.
Selasa, 26 Maret 2013. Aku dibangunkan oleh suara yang biasa ku dengar. Suara yang selama empat hari setia membangunkan kami setiap pagi. Suara kakak-kakak sangga kerja. Ya, hari itu, hari terakhir kamu mengikuti perkemahan Mahabhakti. Rasa senang dan rasa sedih bercampur. Senang karena bisa kembali ke rumah dan menjalankan rutinitas seperti biasa. Sedih karena aku, atau mungkin kami semua akan rindu dengan suasana ini. Rindu dengan suara-suara kakak sangker yang setia membangunkan kamu di pagi hari. Rindu dengan senyum semangat yang dipancarkan kakak sangker. Rindu dengan suara bentakan-bentakan mereka. Rindu dengan hiruk pikuk kamar mandi yang ribut dengan antrian.
Memang, aku mungkin mengeluh dalam setiap kegiatan yang melelahkan. Tapi sungguh, aku menikmati setiap kegiatan Mahabhakti ini. Karena aku tahu, mereka membuat setiap kegiatan ini dengan susah payah. Mereka berpikir keras membuat setiap kegiatan. Untuk apa? Untuk dapat kami kenang. Agar apa? Agar kita senang. Mereka ingin kita merasa bahagia. Mereka hanya ingin kami mengenang dan mengingat perkemahan Mahabhakti ini. Pada hakikatnya, kebahagiaan muncul karena kesederhanaan. Bahagia karena tidur selama empat hari bersama-teman-teman. Kami hidup bersama dengan satu angkatan. Suka dan duka kami lewati bersama. Tangis dan tawa. Rasa lelah dan kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan itu pasti ada dalam kesusahan dan dalam keadaan apapun. Karena, bahagia itu sederhana.
Hari pertama di samping tenda. Dari kiri: Fariza, Jugi, Nani, Aku |
Waktu tadabur alam sempet ngelewatin hutan pinus, dan itu keren banget. Dari kiri: Azizah, Aku, Jugi, Naila, Layli, Nani, Fariza. FYI, yang motoin Nadia, jadi dia nggak nampang |
Dari kiri: Azizah, Nadia, Jugi, Naila, Layli Nani, Fariza. FYI, yang motoin aku, jadi giliran aku yang nggak nampang |
Perkemahan Mahabhakti ke 26
Kulon Progo, 23-26 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar