Senin, 20 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (end)

Maaf ya posting cerita lanjutannya agak lama. Lagi sibuk nih, yang lupa cerita sebelumnya bisa klik disini. Lanjut yuk, cekidot~

Hari ini aku berangkat sekolah dengan perasaan yang sudah tentram. Aku tak menyembunyikan rasa marah, dengki, dendam, bahkan benci pada Kesha. Aku memang marah pada Kesha, tapi itu kemarin, aku sudah memaafkannya. Saat aku masuk kelas, Dicky memperhatikanku. Aku acuh padanya dan tak memperdulikannya. Tiba-tiba dia menghampiriku, "Kamu kemana saja sudah 4 hari tak masuk?", tanyanya. Aku tak menjawab. Dia bertanya lagi, "Kamu kenapa tidak menjawab?". Aku masih belum ingin berbicara. Akhirnya dia menyerah dan kembali ke bangkunya. Bel berbunyi. Kesha belum juga terlihat. Sampai pelajaran dimulaipun dia belum juga terlihat. Mungkin saja dia tak masuk, tapi mengapa? Katanya memang sudah dua hari ini dia tak masuk sekolah.

Esoknya, aku sengaja untuk berangkat lebih pagi agar membuat Kesha terkejut. Awalnya aku merasa senang karena berhasilberangkat mendahului Kesha, tapi hingga bel masuk berbunyi, ia belum juga terlihat. Rupanya dia tak masuk lagi, namun kali ini berbeda, aku seperti mempunyai firasat yang buruk. Bu Siska mulai memasuki kelas, "Selamat pagi anak-anak", sapanya. "Pagi buuu!", seru kami menjawab sapaannya. "Anak-anak hari ini kita mendapat kabar buruk. Kesha yang sudah tiga hari tak masuk sekolah mendapat musibah, dia koma selama beberapa hari di rumah sakit dan sampai saat ini dia belum sadarkan diri. Ibu harap kalian bisa mendoakan Kesha agar cepat sembuh dan berkumpul bersama kita lagi. Disamping itu.......". Belum selesai Bu Siska melanjutkan pembicaraanya, aku sontak berdiri dan berlari keluar kelas, Dicky mengejarku, aku tak peduli, aku berlari, dia kali ini tak menyerah dan terus mengejarku. Tanganku tertangkap oleh genggamannya. "Sal, tunggu. Aku akan mengantarmu!". Aku tak kuat untuk melepaskan genggamannya dan terpaksa enurut permintaannya walau sebenarnya aku tak mau.

Sesampainya disana aku meninggalkan Dicky yang sedang mermarkir motornya, aku langsug berlari memasuki rumah sakit dan bertanya dimana kamar Kesha berada. Sambil mengusap air mata yang sejak tadi menetes, aku bergegas menuju kamar Kesha. Sambil berjalan, aku kembali panik. Tanganku gemetar. Jantungku berdetak begitu kencang, Aku takut. Aku menyesal. Aku hanya bisa menangis, "Jangan tinggal kan aku Sha, sebelum kujelaskan semuanya padamu!", teriakku dalam hati.

Akupun sampai didepan kamarnya. "Salsa ya? Silahkan masuk. Kesha sudah menunggumu dari tadi, kata sesosok wanita parubaya dengan senyum ramahnya. Itu ibunya. Aku tak mengerti. Mengapa semua orang yang berada didepan kamar Kesha menangis? Ayah dan Ibunyasaling berpelukan dan tak berhenti meneteskan air mata. Aku takut. Sangat takut. Air mataku yang tadi mengalir deras, kuhapus walau nafasku masih terisak. Rasa sakit didadaku terus kutahan agar tak meluap nantinya. Aku tak ingin Kesha melihatku dengan keadaan seperti ini.

Aku memasuki kamarnya, disitulah terbaring sosok perempuan yang ku kenal. Air matanya terus mengalir saat dia meihatku. Sangat terlihat bahwa selama ini dia terus menahan rasa sakit. "Ke....sha.... a..a..aku....", belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, dia tersenyum dan berkata, "Selamat tinggal Salsa, semoga kamu bahagia. Aku sangat senang menjadi sahabatmu." Kata-kata itu adalah kata-kata terakhir yang terucap dari mulutnya. Belum sempat aku bercanda, berdebat, tertawa bersamanya lagi. Semua berlalu begitu cepat. Aku menangis. Aku tak bisa menahan bendungan air mataku. Aku memeluknya. Sosok perempuan itu sudah memejamkan matanya, selamanya. Alat pengukur detak jantung sudah menunjukan bhwa jantungnya tak berdetak lagi. Nafasnya sudah terhenti. Tubuh yang saat ini ku peluk sudah kaku, tangan dan kakinya dingin. Aku mulai melepaskan pelukanku, aku melihat wajahnya. Senyuman manis itu terus terpancar pada wajahnya ditubuh tak bernyawa itu. Aku menyesal. Sangat menyesal. Rasa sakit ini tak bisa kutahan.

"Keshaaaaaaa! Maafkan aku! Aku menyesal Kesha! Aku belum mengucapkan itu padamu!", teriakku. Dicky memelukku. Memelukku sangat erat. Memang pelukan itu yang aku inginkan tapi tidak ku inginkan untuk saat ini. Aku merasa sesak. Aku tak menginkan pelukanini, aku hanya menginginkan Kesha. Siangnya jasad Kesha langsung dimakamkan. Aku sudah tak menangis. Walau ku tahu rasa sakit dihatiku masih terasa dan aku ingin sekali menangis tapi aku tak mau membuat Kesha sedih, aku ingin Kesha bahagia disurga, karna dia juga menginginkan aku bahagia disini. Setelah pemakaman Dicky meminta untuk mengantarkanku pulang, lagi-lagi aku menuruti permintaannya. Dicky bukannya mengantarku pulang tetapi dia mengajakku ke suatu tempat, tempat dimana Kesha menjelaskan semuanya pada Dicky. Tempat itu sangat indah. "Disini Kesha menjelaskan semuanya. Dia menjelaskan setelah kau melihat kami saat pulang sekolah. Dia menolak cintaku, lalu dia mengajakku ketempat ini. Ini tempat favorit kalian bukan? Aku jatuh cinta pada tempat ini. Tempat ini sangaaat indah.", jelas Dicky dengan mata berbinar sambil melihat pemandangan sekitar. Ya memang disini tempat favorit kami. Kami memang suka pemandangan. Hamparan sawah, ya kami sangat suka hamparan sawah. Aku belum menjawab ucapan Dicky. Aku membisu. Aku tak tau apa yang harus kukatakan. "Kesha menjelaskan semuanya tentangmu, Salsa. Semuanya. Tak ada yang terlewat. Rasanya Kesha tau semua tentangmu. Aku menyukaimu, Salsa. Lebih dari aku menyukai Kesha. Aku jatuh cinta padamu bukan karna permintaan Kesha saja, tapi dari hatiku yang paling dalam.", jelasnya lagi. Aku tak bisa bicara. Aku menatap Dicky. Dia tersenyum. Apa yang harus kukatakan?. "Ijinkan aku untuk menjadi pacarmu, Salsa..", sambungnya sambil menggenggam tanganku. Aku melepas genggamannya. "Maafin aku Dicky. Aku memang mencintaimu, sejak lama. Tapi aku tak bisa untuk menjadi pacarmu. Aku tak bisa bahagia denganmu sedangkan Kesha tak bisa melihatku bahagia", jawabku sambil terisak. "Dia bisa meihatmu bahagia, bahkan dia bisa merasakannya.", timpal Dicky. "Tapi aku yang tak bisa, maaf kan aku", balasku sambil menangis. "Tak apa, sudah tak usah menangis", katanya sambil mengusap air mataku dengan senyuman ramahnya. Tiba-tiba dia mengambil sepucuk surat dari kantongnya, "Ini surat dari Kesha, lebih baik kau membacanya dirumah. Ayo ku antarkan kamu pulang.", katanya. Sesampainya di rumah, aku membuka surat itu yang berisi..

     dear Salsa,
Maaf karena aku telah mengecewakanmu
Maaf aku tak bermaksud untuk mengkhianatimu
Kemarin, pernyataan cinta Dicky padaku ku tolak
Karena aku berjanji, aku selalu mendukungmu
Aku juga minta maaf..
Selama ini aku mengidap kanker paru-paru
Aku ingin menceritakan padamu selagi sempat
Namun ternyata waktuku tak sempat
Maaf aku tak bermaksud untuk merahasiakan ini darimu
Salsa... Terimakasih
Aku senang menjadi sahabtmu
Aku bahagia saat bercanda dan bertengkar bersamamu
Terimakasih kau mau menerimaku walau awalnya kau memembenciku
Terimakasih... hanya kamu yang memandangku berbeda
Terimakasih... kamu telah memeperlakukanku seperti manusia biasa
Terimakasih Salsa.. karnamu aku dapat tertawa bebas tanpa beban
Terimakasih.. kuharap kau tetap senang dan selalu riang
Semoga kamu tetap menjadi Salsa yag kukenal, tak pernah berubah..

-Kesha-

Surat itu membuatku kembali meneteskan air mata. Aku berjanji pada diriku sendiri untuku dan untuk Kesha agar aku tetap riang, senang, dan tak akan berubah seperti yang Kesha kenal. "Sama-sama Kesha. Aku juga senang menjadi sahabatmu. Aku menyayangimu..", bisikku dalam hati.


-TAMAT-

Minggu, 12 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (part II)

Kali  ini mau posting tentang lanjutan cerpen kemaren ya, yang belum tau bisa lihat disini :) So, enjoy reading guys;)

Behari-hari aku tetap duduk dengannya, Kesha memang orang yang cukup asyik, ramah, cerdas, terbuka, dan juga dermawan. Karena hamir setiap jam istirahat, dia selalu membagi sedikit bekal makanannya untukku, padahal aku juga sudah membawa bekal makanan. Terkadang, kalau ada pelajaran yang tidak aku mengerti, dia selalu siap menjelaskan kepadaku. Benar-benar hebat anak ini.

Tetapi tak semua itu berjalan lancar. Kami juga sering bertengkar karna masalah sepele. Pernah saat aku mengambil penghapus tiba-tiba Kesha merebut dan mangakui bahwa penghapus itu miliknya. Karena aku yang menemukannya, aku tak mau kalah dan aku memprotes. Akhirnya aku mengalah, ku berikan penghapus itu pada Kesha. Setelah itu kami masih memperdebatkan karet apa yang digunakan untuk membuat penghapus itu. Sering kali kami juga memperdebatkan sesuatu yang tak wajar untuk diperdebatkan seorang siswi SMA. Seperti siapa yang mengurusi masalah uang kenegaraan, masalah devisa negara, masalah demokrasi, hingga mahalnya ikan para nelayan. Aneh memang, tapi menurutku itu hal yang menarik.

Setelah banyak hal yang kami hadapi bersama, akupun merasa akrab dengannya. Alamak, pergi kemana keteguhanku bahwa aku tak ingin akrab dengannya? Entahlah, aku sudah tidak memikirkannya. Toh pepatah juga bilang bahwa manusia bisa berubah sewakttu-waktu. Tentu saja aku masuk dalam golongan manusia itu. Lagian Kesha juga sudah berjuang semampunya untuk tetap bertahan menjadi temanku dalam menghadapi sikapku itu, tak ada salahnya aku menghargai itu.

Hari ini, entah mengapa aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pujaan hatiku. Dicky namanya. Apa dia punya perasaan padaku? Apa aku bisa menyatakan cinta pada Dicky? Atau aku harus menunggunya untuk menyatakan cinta kepadaku? Entah. Aku tidak tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. "Hei, kamu kok melamun? Ngeliatin siapa sih?", tanya Kesha yang mengagetkan ku. Kesha berusahan mencari-cari arah pandanganku kepada siapa. Aku hanya tersenyum kecil. "Dicky ya!", teriaknya. Sontak aku langsung menutup mulutnya, dan untung saja Dicky tidak mendengarnya. Aku berusaha untuk tidak salah tingkah dan menggoda Kesha untuk menutupinya, "Hah? Eh? Enggak. Hayoooo! Jangan-jangan kamu yang suka pada Dicky!". "Iya, aku suka padanya", jawab Kesha santai tapi penuh keyakinan. Mulutku menganga. Tubuhku lemas. Tak tau apalagi yang harus kukatakan. Bagaimana bisa kami menyukai orang yang sama? Apa aku harus merelakan Dicky untuk Kesha? Atau aku tak memerdulikan perasaan Kesha sehingga aku tetap menyukai Dicky? Hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul dalam pikiranku. Sepertinya Kesha mengerti raut wajah dan kepanikanku saat itu. "Tenang saja, aku hanya bercanda. Aku sangat mendukung rasa sukamu itu", sambung Kesha sambil mengedipkan satu matanya. Kami pun tertawa.

Akhir-akhir ini Dicky sering memandang ke arah bangkuku. Entah memandangi Kesha atau memandangiku. Tapi aku selalu berharap dia memang memandangiku. Kalau memang dia memandangi Kesha, yang kutahu Kesha selalu acuh. Akupun merasa lega dengan sikap Kesha terhadap Dicky. Alangkah baiknya Kesha. Beruntung sekali aku mendapatkan sahabat sepertinya. Sahabat sejati yang selalu mengerti perasaanku. Aku berencana untuk memberitahu pada Kesha tentang perasaanku pada Dicky.

Hari ini, sepulang sekolah Kesha sudah menghilang entah kemana, dia sama sekali tak berpamitan padaku. Karna memang kami biasa pulang bersama. Mungkin saja dia langsung pulang untuk pemotretan seperti beberapa hari lalu, namun hari ini aneh, dia tak berpamitan sama sekali. Akupun berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan. Setelah lama menunggu, aku memutuskan untuk menaikki angkutan umum. Karna aku merasa malas untuk pulang terlalu cepat, aku memutuskan menunggu angkutan umum itu tidak ditempat seperti biasanya, aku ingin memutari kota terlebih dahulu. Saat perjalanan menuju halte angkutan umum, aku bertemu dengan Dicky. Senang bukan kepalang perasaanku saat itu. Namun perasaanku tiba-tiba menjadi rasa sakit karna aku melihat Kesha disana bersama Dicky. Sedang apa mereka?

"Kesha maukah kamu menjadi pacarku?", ucap Dicky sambil memegang tangan Kesha. Ucapan itu terdengar jelas ditelingaku. Kaget, sesak,sakit, bingung, kesal, marah, emosi, semua itu bercampur aduk memenuhi kepalaku dan perasaan-perasaan itu menggumpal dalam hatiku. Kesha yang tiba-tiba sadar akan kehadiranku, langsung menepis genggaman tangan Dicky. Dia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berteriak. "Salsa! Ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku tak bermaksud apapun. Ini hanya......". Aku tak mendengarkan ucapannya lagi. Aku menutup telingaku dan berlari terus menerus tanpa mengalihkan pandanganku ke arahnya yang terus memanggilku. Dicky juga berusaha mengejarku, aku menghiraukannya.  Tanganku tertangkap oleh genggapan Dicky, aku melepaskannya, dan terus berlari sambil menangis. Perasaanku campur aduk.

Esoknya aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah. Pikiranku kacau, aku takut jika masuk sekolah aku tidak bisa mengikuti pelajaran. Kesha terus menghubungiku. Tapi aku acuh dan membiarkannya. Dua hari aku tak masuk sekolah, dua hari itu juga dia tak berhenti untuk menghubungiku. Hari ketiga, akhirnya dia menyerah dan tidak menghubungiku. Aku memikirkan sikap apa yang harus kuambil. Bagaimana harus mengambil keputusan yang bijak agar tak menyakiti siapapun? Aku merasa akan dikhianati. Setelah aku berpikir panjang. Akupun letih. Aku mengingat peristiwa-peristiwa menyenangkan bersamanya. Kesha adalah sahabat terbaikku. Dia tidak pernah sengaja menyakitiku. Dia baik padaku. Dia selalu mengerti apa yang kurasakan dan kupikirkan. Tapi apa yang dia lakukan tiga hari yang lalu. Dia tiba-tiba menghilang dan aku menemukannya saat dia bersama pujaan hatiku, orang yang kusukai, Dicky. 

Setelah beberapa hari tak masuk sekolah, aku memutuskan untuk masuk dan bercerita tentang apa yang kupikirkan. Dan kami pasti bisa bercanda, bertengkar, berdebat, tertawa bersamanya lagi.

Bersambung...

Jumat, 10 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (part I)

"Selamat tinggal Salsa. Semoga kamu bahagia", kata sesosok manusia sambil berisak memandangku. Aku tidak mengingatnya dengan jelas, namun rasa sakit dihatiku masih kurasakan. Wajahnya yang seperti terpaksa menampakan senyuman. Pandangannya yang seakan berat untuk berpaling dariku dan air matanya yang terus mengalir membasahi pipinya.

JEDEEEEEER!! Suara petir membangunkan dari mimpi yang tadi ku alami. Gelap. Suara hujan terdengar sangat keras. Listrik mati, mungkin memang sengaja dimatikan oleh pusat karena cuaca yang sangat buruk. Ku ambil lilin diatas almari, ku nyalakan perlahan. Sudah subuh ternyata. Akupun beranjak mengambil air wudlu dan menunaikan sholat subuh. Setelah itu aku melakukan rutinitas yang biasa dilakukan oleh seorang pelajar sebelum berangkat sekolah.

Akhirnya aku sampai disekolah setelah berjuang dengan kakakku untuk melewati licinnya jalan raya karena tadi pagi hujan turun sangat deras. Satu menit saja terlewat, aku bisa terlambat dan mungkin aku bisa berlari mengelilingi lapangan sebanyak 10kali. Sampai kelas, hatiku mulai tenang Capek memang, tapi tak apa asalkan aku tidak terjebak dalam hukuman maut itu. Namun sialnya, karena aku sampai disekolah sudah siang, tak ada bangku yang tersisa dikelas. Sebenarnya ada, tapi aku tak pernah menganggap bangku itu ada, karena terletak jauh dibelakang, pojok pula. Dengan langkah tergontai, aku harus bisa menerima kenyataan bahwa aku akan duduk dibangku itu, yang penting aku masih bisa menyimak pelajaran.

Tiba-tiba bel berbunyi. Dan Bu Siska memasuki kelasku dengan anggunnya. "Ya, anak-anak, kali ini kelas kita kedatangan siswi baru, mungkin sebagian dari kalian sudah mengenalnya karena dia ini seorang model disalah satu majalah remaja.", kata Bu Siska dengan senyum merekah diwajahnya. Disaat seperti ini saja, beliau ramah. Andai saja disetiap jam pelajarannya pasti tidak sedikit siswa yang senam jantung, papan tulis yang terbelah akibat pukulan mautnya dan penghapus yang hilang entah kemana akibat lemparan hattricknya.

Kelas sontak mulai riuh. Siswa perempuan mulai bergosip ria menebak siapa yang akan menjadi siswi baru dikelas ini. Sedangkan siswa laki-laki sibuk bercermin, menyisir rambut, bahkan tak sedikit dari mereka yang mulai menulis. Rajin sekali, tapi sayang, bukannya menulis pelajaran melainkan menuliskan puisi ataupun surat cinta untuk siswi baru itu. Pelajar jaman sekarang memang ajaib sekali.

Bu Siska mulai menenangkan kelas yang gaduh itu, "Diam anak-anak!", teriaknya. Sontak kelas langsung hening. Tiba-tiba masuklah seorang gadis cantik, manis, putih, tinggi, dan seperti penampilannya, dia terlihat orang kaya. Tetapi menurutku kecentilan, kegenitan, dan terlalu banyak gaya, itu membuat kesempurnaan fisiknya runtuh. "Kenalin, namaku Kesha. Umur 15tahun. Hobbyku keliling dunia dan punya banyak cowok. Kalau ada yang mau daftar SMS aja ke nomor 081888675555, jangan lupa ketik 'hai' (spasi) 'cantik', dan satu lagi jangan lupa nyebutin nama pengirim ya", katanya untuk memperkenalkaan diri,

Kelas gaduh kembali. Siswa laki-laki langsung mencatat nomor itu, tapi tak banyak juga yang mengusir teman sebangku mereka agar siswi itu bisa duduk disebelah mereka. Aneh sekali dia, Percaya dirinya sangat tinggi. Jangan sampai aku akrab dengannya. Naudzubillah, pasti dia orang yang sangat menyebalkan, gumamku dalam hati. Sudahlah, kualihkan pandanganku pada sosok pujaan hatiku. Ah dia melihatku, senangnya hatiku. Andai dia tahu perasaanku yang sebenarnya.

Sedang asyiknya melamun dan memikirkan pujaan hatiku itu, tiba-tiba sesosok manusia menghampiri bangku ku dan berkata, "Hei, aku bolehkan duduk disebelahmu?". Aku tersentak kaget. Apa??? Inikan orang aneh itu, Siapa namanya? Kesha? Ah aku tidak peduli siapa namanya. Lalu apa yang harus ku katakan? pikirku. Spontan bibirku bergerak dan membentuk suara, "boleh kok". Alamak, apa yang kukatakan tadi? Bisa-bisanya aku menyanggupi kata-katanya. Baik, cukup hari ini saja. Besok jangan sampai aku duduk dengannya lagi.

Tadinya aku mengira Kesha anak yang cerewet, heboh, banyak tingkah. Tapi ternyata selama pelajaran dia hanya diam. Alamak, kemana rasa percaya dirinya tadi? Menarik juga anak ini. Tapi jangan sampai aku akrab dengannya. Jangan sampai. Aku harus menampilkan kesan buruk padanya bahwa aku tidak mau akrab dengannya. Dia mengajakku bicara, aku hanya menjawab singkat. Dia bertanya sesuatu, aku menjawab dengan nada ketus. Dia melucu, aku hanya tertawa namun hanya pura-pura, bahkan aku tidak tertawa sekalipun. Kejam, tak adil, aku tahu. Tapi aku punya batasan tersendiri untuk tidak berteman orang seperti dia.

Esoknya, aku sengaja berangkat siang tapi tidak terlambat. Aku melakukannya agar aku tak duduk dengannya lagi. Tak apa duduk dibangku menyebalkan itu, asalkan aku tak sebangku dengan anak itu. Toh dia juga berangkat pagi, pastilah dia akan duduk didepan bersama teman sebagku barunya. Namun tak kusangka, ternyata dugaanku salah. Salah besar. Rencanaku gagal. Memang, dia duduk dibangku depan tetapi dia telah mengosongkan satu bangku sampingnya untuk kududuki. Hebat. Ternyata dia cukup sabar menghadapi perlakuanku ini. Atau mungkin tak ada yang mau duduk dengannya? Entahlah, aku sangat sial.

Bel istirahat berbunyi, aku bergegas mendatangi salah satu bangku temanku dan bertanya, "Apa tadi tidak ada yang mau duduk dengan Kesha? Kenapa bangku sebelahnya kosong?". "Tidak. Tadi justru banyak yang ingin duduk dengan Kesha, tapi dia bilang bangku itu untukmu." Alamak, apa yang dia lakukan? Kesha memang anak yang aneh.....

Bersambung...

Senin, 20 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (end)

Maaf ya posting cerita lanjutannya agak lama. Lagi sibuk nih, yang lupa cerita sebelumnya bisa klik disini. Lanjut yuk, cekidot~

Hari ini aku berangkat sekolah dengan perasaan yang sudah tentram. Aku tak menyembunyikan rasa marah, dengki, dendam, bahkan benci pada Kesha. Aku memang marah pada Kesha, tapi itu kemarin, aku sudah memaafkannya. Saat aku masuk kelas, Dicky memperhatikanku. Aku acuh padanya dan tak memperdulikannya. Tiba-tiba dia menghampiriku, "Kamu kemana saja sudah 4 hari tak masuk?", tanyanya. Aku tak menjawab. Dia bertanya lagi, "Kamu kenapa tidak menjawab?". Aku masih belum ingin berbicara. Akhirnya dia menyerah dan kembali ke bangkunya. Bel berbunyi. Kesha belum juga terlihat. Sampai pelajaran dimulaipun dia belum juga terlihat. Mungkin saja dia tak masuk, tapi mengapa? Katanya memang sudah dua hari ini dia tak masuk sekolah.

Esoknya, aku sengaja untuk berangkat lebih pagi agar membuat Kesha terkejut. Awalnya aku merasa senang karena berhasilberangkat mendahului Kesha, tapi hingga bel masuk berbunyi, ia belum juga terlihat. Rupanya dia tak masuk lagi, namun kali ini berbeda, aku seperti mempunyai firasat yang buruk. Bu Siska mulai memasuki kelas, "Selamat pagi anak-anak", sapanya. "Pagi buuu!", seru kami menjawab sapaannya. "Anak-anak hari ini kita mendapat kabar buruk. Kesha yang sudah tiga hari tak masuk sekolah mendapat musibah, dia koma selama beberapa hari di rumah sakit dan sampai saat ini dia belum sadarkan diri. Ibu harap kalian bisa mendoakan Kesha agar cepat sembuh dan berkumpul bersama kita lagi. Disamping itu.......". Belum selesai Bu Siska melanjutkan pembicaraanya, aku sontak berdiri dan berlari keluar kelas, Dicky mengejarku, aku tak peduli, aku berlari, dia kali ini tak menyerah dan terus mengejarku. Tanganku tertangkap oleh genggamannya. "Sal, tunggu. Aku akan mengantarmu!". Aku tak kuat untuk melepaskan genggamannya dan terpaksa enurut permintaannya walau sebenarnya aku tak mau.

Sesampainya disana aku meninggalkan Dicky yang sedang mermarkir motornya, aku langsug berlari memasuki rumah sakit dan bertanya dimana kamar Kesha berada. Sambil mengusap air mata yang sejak tadi menetes, aku bergegas menuju kamar Kesha. Sambil berjalan, aku kembali panik. Tanganku gemetar. Jantungku berdetak begitu kencang, Aku takut. Aku menyesal. Aku hanya bisa menangis, "Jangan tinggal kan aku Sha, sebelum kujelaskan semuanya padamu!", teriakku dalam hati.

Akupun sampai didepan kamarnya. "Salsa ya? Silahkan masuk. Kesha sudah menunggumu dari tadi, kata sesosok wanita parubaya dengan senyum ramahnya. Itu ibunya. Aku tak mengerti. Mengapa semua orang yang berada didepan kamar Kesha menangis? Ayah dan Ibunyasaling berpelukan dan tak berhenti meneteskan air mata. Aku takut. Sangat takut. Air mataku yang tadi mengalir deras, kuhapus walau nafasku masih terisak. Rasa sakit didadaku terus kutahan agar tak meluap nantinya. Aku tak ingin Kesha melihatku dengan keadaan seperti ini.

Aku memasuki kamarnya, disitulah terbaring sosok perempuan yang ku kenal. Air matanya terus mengalir saat dia meihatku. Sangat terlihat bahwa selama ini dia terus menahan rasa sakit. "Ke....sha.... a..a..aku....", belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, dia tersenyum dan berkata, "Selamat tinggal Salsa, semoga kamu bahagia. Aku sangat senang menjadi sahabatmu." Kata-kata itu adalah kata-kata terakhir yang terucap dari mulutnya. Belum sempat aku bercanda, berdebat, tertawa bersamanya lagi. Semua berlalu begitu cepat. Aku menangis. Aku tak bisa menahan bendungan air mataku. Aku memeluknya. Sosok perempuan itu sudah memejamkan matanya, selamanya. Alat pengukur detak jantung sudah menunjukan bhwa jantungnya tak berdetak lagi. Nafasnya sudah terhenti. Tubuh yang saat ini ku peluk sudah kaku, tangan dan kakinya dingin. Aku mulai melepaskan pelukanku, aku melihat wajahnya. Senyuman manis itu terus terpancar pada wajahnya ditubuh tak bernyawa itu. Aku menyesal. Sangat menyesal. Rasa sakit ini tak bisa kutahan.

"Keshaaaaaaa! Maafkan aku! Aku menyesal Kesha! Aku belum mengucapkan itu padamu!", teriakku. Dicky memelukku. Memelukku sangat erat. Memang pelukan itu yang aku inginkan tapi tidak ku inginkan untuk saat ini. Aku merasa sesak. Aku tak menginkan pelukanini, aku hanya menginginkan Kesha. Siangnya jasad Kesha langsung dimakamkan. Aku sudah tak menangis. Walau ku tahu rasa sakit dihatiku masih terasa dan aku ingin sekali menangis tapi aku tak mau membuat Kesha sedih, aku ingin Kesha bahagia disurga, karna dia juga menginginkan aku bahagia disini. Setelah pemakaman Dicky meminta untuk mengantarkanku pulang, lagi-lagi aku menuruti permintaannya. Dicky bukannya mengantarku pulang tetapi dia mengajakku ke suatu tempat, tempat dimana Kesha menjelaskan semuanya pada Dicky. Tempat itu sangat indah. "Disini Kesha menjelaskan semuanya. Dia menjelaskan setelah kau melihat kami saat pulang sekolah. Dia menolak cintaku, lalu dia mengajakku ketempat ini. Ini tempat favorit kalian bukan? Aku jatuh cinta pada tempat ini. Tempat ini sangaaat indah.", jelas Dicky dengan mata berbinar sambil melihat pemandangan sekitar. Ya memang disini tempat favorit kami. Kami memang suka pemandangan. Hamparan sawah, ya kami sangat suka hamparan sawah. Aku belum menjawab ucapan Dicky. Aku membisu. Aku tak tau apa yang harus kukatakan. "Kesha menjelaskan semuanya tentangmu, Salsa. Semuanya. Tak ada yang terlewat. Rasanya Kesha tau semua tentangmu. Aku menyukaimu, Salsa. Lebih dari aku menyukai Kesha. Aku jatuh cinta padamu bukan karna permintaan Kesha saja, tapi dari hatiku yang paling dalam.", jelasnya lagi. Aku tak bisa bicara. Aku menatap Dicky. Dia tersenyum. Apa yang harus kukatakan?. "Ijinkan aku untuk menjadi pacarmu, Salsa..", sambungnya sambil menggenggam tanganku. Aku melepas genggamannya. "Maafin aku Dicky. Aku memang mencintaimu, sejak lama. Tapi aku tak bisa untuk menjadi pacarmu. Aku tak bisa bahagia denganmu sedangkan Kesha tak bisa melihatku bahagia", jawabku sambil terisak. "Dia bisa meihatmu bahagia, bahkan dia bisa merasakannya.", timpal Dicky. "Tapi aku yang tak bisa, maaf kan aku", balasku sambil menangis. "Tak apa, sudah tak usah menangis", katanya sambil mengusap air mataku dengan senyuman ramahnya. Tiba-tiba dia mengambil sepucuk surat dari kantongnya, "Ini surat dari Kesha, lebih baik kau membacanya dirumah. Ayo ku antarkan kamu pulang.", katanya. Sesampainya di rumah, aku membuka surat itu yang berisi..

     dear Salsa,
Maaf karena aku telah mengecewakanmu
Maaf aku tak bermaksud untuk mengkhianatimu
Kemarin, pernyataan cinta Dicky padaku ku tolak
Karena aku berjanji, aku selalu mendukungmu
Aku juga minta maaf..
Selama ini aku mengidap kanker paru-paru
Aku ingin menceritakan padamu selagi sempat
Namun ternyata waktuku tak sempat
Maaf aku tak bermaksud untuk merahasiakan ini darimu
Salsa... Terimakasih
Aku senang menjadi sahabtmu
Aku bahagia saat bercanda dan bertengkar bersamamu
Terimakasih kau mau menerimaku walau awalnya kau memembenciku
Terimakasih... hanya kamu yang memandangku berbeda
Terimakasih... kamu telah memeperlakukanku seperti manusia biasa
Terimakasih Salsa.. karnamu aku dapat tertawa bebas tanpa beban
Terimakasih.. kuharap kau tetap senang dan selalu riang
Semoga kamu tetap menjadi Salsa yag kukenal, tak pernah berubah..

-Kesha-

Surat itu membuatku kembali meneteskan air mata. Aku berjanji pada diriku sendiri untuku dan untuk Kesha agar aku tetap riang, senang, dan tak akan berubah seperti yang Kesha kenal. "Sama-sama Kesha. Aku juga senang menjadi sahabatmu. Aku menyayangimu..", bisikku dalam hati.


-TAMAT-

Minggu, 12 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (part II)

Kali  ini mau posting tentang lanjutan cerpen kemaren ya, yang belum tau bisa lihat disini :) So, enjoy reading guys;)

Behari-hari aku tetap duduk dengannya, Kesha memang orang yang cukup asyik, ramah, cerdas, terbuka, dan juga dermawan. Karena hamir setiap jam istirahat, dia selalu membagi sedikit bekal makanannya untukku, padahal aku juga sudah membawa bekal makanan. Terkadang, kalau ada pelajaran yang tidak aku mengerti, dia selalu siap menjelaskan kepadaku. Benar-benar hebat anak ini.

Tetapi tak semua itu berjalan lancar. Kami juga sering bertengkar karna masalah sepele. Pernah saat aku mengambil penghapus tiba-tiba Kesha merebut dan mangakui bahwa penghapus itu miliknya. Karena aku yang menemukannya, aku tak mau kalah dan aku memprotes. Akhirnya aku mengalah, ku berikan penghapus itu pada Kesha. Setelah itu kami masih memperdebatkan karet apa yang digunakan untuk membuat penghapus itu. Sering kali kami juga memperdebatkan sesuatu yang tak wajar untuk diperdebatkan seorang siswi SMA. Seperti siapa yang mengurusi masalah uang kenegaraan, masalah devisa negara, masalah demokrasi, hingga mahalnya ikan para nelayan. Aneh memang, tapi menurutku itu hal yang menarik.

Setelah banyak hal yang kami hadapi bersama, akupun merasa akrab dengannya. Alamak, pergi kemana keteguhanku bahwa aku tak ingin akrab dengannya? Entahlah, aku sudah tidak memikirkannya. Toh pepatah juga bilang bahwa manusia bisa berubah sewakttu-waktu. Tentu saja aku masuk dalam golongan manusia itu. Lagian Kesha juga sudah berjuang semampunya untuk tetap bertahan menjadi temanku dalam menghadapi sikapku itu, tak ada salahnya aku menghargai itu.

Hari ini, entah mengapa aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pujaan hatiku. Dicky namanya. Apa dia punya perasaan padaku? Apa aku bisa menyatakan cinta pada Dicky? Atau aku harus menunggunya untuk menyatakan cinta kepadaku? Entah. Aku tidak tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. "Hei, kamu kok melamun? Ngeliatin siapa sih?", tanya Kesha yang mengagetkan ku. Kesha berusahan mencari-cari arah pandanganku kepada siapa. Aku hanya tersenyum kecil. "Dicky ya!", teriaknya. Sontak aku langsung menutup mulutnya, dan untung saja Dicky tidak mendengarnya. Aku berusaha untuk tidak salah tingkah dan menggoda Kesha untuk menutupinya, "Hah? Eh? Enggak. Hayoooo! Jangan-jangan kamu yang suka pada Dicky!". "Iya, aku suka padanya", jawab Kesha santai tapi penuh keyakinan. Mulutku menganga. Tubuhku lemas. Tak tau apalagi yang harus kukatakan. Bagaimana bisa kami menyukai orang yang sama? Apa aku harus merelakan Dicky untuk Kesha? Atau aku tak memerdulikan perasaan Kesha sehingga aku tetap menyukai Dicky? Hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul dalam pikiranku. Sepertinya Kesha mengerti raut wajah dan kepanikanku saat itu. "Tenang saja, aku hanya bercanda. Aku sangat mendukung rasa sukamu itu", sambung Kesha sambil mengedipkan satu matanya. Kami pun tertawa.

Akhir-akhir ini Dicky sering memandang ke arah bangkuku. Entah memandangi Kesha atau memandangiku. Tapi aku selalu berharap dia memang memandangiku. Kalau memang dia memandangi Kesha, yang kutahu Kesha selalu acuh. Akupun merasa lega dengan sikap Kesha terhadap Dicky. Alangkah baiknya Kesha. Beruntung sekali aku mendapatkan sahabat sepertinya. Sahabat sejati yang selalu mengerti perasaanku. Aku berencana untuk memberitahu pada Kesha tentang perasaanku pada Dicky.

Hari ini, sepulang sekolah Kesha sudah menghilang entah kemana, dia sama sekali tak berpamitan padaku. Karna memang kami biasa pulang bersama. Mungkin saja dia langsung pulang untuk pemotretan seperti beberapa hari lalu, namun hari ini aneh, dia tak berpamitan sama sekali. Akupun berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan. Setelah lama menunggu, aku memutuskan untuk menaikki angkutan umum. Karna aku merasa malas untuk pulang terlalu cepat, aku memutuskan menunggu angkutan umum itu tidak ditempat seperti biasanya, aku ingin memutari kota terlebih dahulu. Saat perjalanan menuju halte angkutan umum, aku bertemu dengan Dicky. Senang bukan kepalang perasaanku saat itu. Namun perasaanku tiba-tiba menjadi rasa sakit karna aku melihat Kesha disana bersama Dicky. Sedang apa mereka?

"Kesha maukah kamu menjadi pacarku?", ucap Dicky sambil memegang tangan Kesha. Ucapan itu terdengar jelas ditelingaku. Kaget, sesak,sakit, bingung, kesal, marah, emosi, semua itu bercampur aduk memenuhi kepalaku dan perasaan-perasaan itu menggumpal dalam hatiku. Kesha yang tiba-tiba sadar akan kehadiranku, langsung menepis genggaman tangan Dicky. Dia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berteriak. "Salsa! Ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku tak bermaksud apapun. Ini hanya......". Aku tak mendengarkan ucapannya lagi. Aku menutup telingaku dan berlari terus menerus tanpa mengalihkan pandanganku ke arahnya yang terus memanggilku. Dicky juga berusaha mengejarku, aku menghiraukannya.  Tanganku tertangkap oleh genggapan Dicky, aku melepaskannya, dan terus berlari sambil menangis. Perasaanku campur aduk.

Esoknya aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah. Pikiranku kacau, aku takut jika masuk sekolah aku tidak bisa mengikuti pelajaran. Kesha terus menghubungiku. Tapi aku acuh dan membiarkannya. Dua hari aku tak masuk sekolah, dua hari itu juga dia tak berhenti untuk menghubungiku. Hari ketiga, akhirnya dia menyerah dan tidak menghubungiku. Aku memikirkan sikap apa yang harus kuambil. Bagaimana harus mengambil keputusan yang bijak agar tak menyakiti siapapun? Aku merasa akan dikhianati. Setelah aku berpikir panjang. Akupun letih. Aku mengingat peristiwa-peristiwa menyenangkan bersamanya. Kesha adalah sahabat terbaikku. Dia tidak pernah sengaja menyakitiku. Dia baik padaku. Dia selalu mengerti apa yang kurasakan dan kupikirkan. Tapi apa yang dia lakukan tiga hari yang lalu. Dia tiba-tiba menghilang dan aku menemukannya saat dia bersama pujaan hatiku, orang yang kusukai, Dicky. 

Setelah beberapa hari tak masuk sekolah, aku memutuskan untuk masuk dan bercerita tentang apa yang kupikirkan. Dan kami pasti bisa bercanda, bertengkar, berdebat, tertawa bersamanya lagi.

Bersambung...

Jumat, 10 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (part I)

"Selamat tinggal Salsa. Semoga kamu bahagia", kata sesosok manusia sambil berisak memandangku. Aku tidak mengingatnya dengan jelas, namun rasa sakit dihatiku masih kurasakan. Wajahnya yang seperti terpaksa menampakan senyuman. Pandangannya yang seakan berat untuk berpaling dariku dan air matanya yang terus mengalir membasahi pipinya.

JEDEEEEEER!! Suara petir membangunkan dari mimpi yang tadi ku alami. Gelap. Suara hujan terdengar sangat keras. Listrik mati, mungkin memang sengaja dimatikan oleh pusat karena cuaca yang sangat buruk. Ku ambil lilin diatas almari, ku nyalakan perlahan. Sudah subuh ternyata. Akupun beranjak mengambil air wudlu dan menunaikan sholat subuh. Setelah itu aku melakukan rutinitas yang biasa dilakukan oleh seorang pelajar sebelum berangkat sekolah.

Akhirnya aku sampai disekolah setelah berjuang dengan kakakku untuk melewati licinnya jalan raya karena tadi pagi hujan turun sangat deras. Satu menit saja terlewat, aku bisa terlambat dan mungkin aku bisa berlari mengelilingi lapangan sebanyak 10kali. Sampai kelas, hatiku mulai tenang Capek memang, tapi tak apa asalkan aku tidak terjebak dalam hukuman maut itu. Namun sialnya, karena aku sampai disekolah sudah siang, tak ada bangku yang tersisa dikelas. Sebenarnya ada, tapi aku tak pernah menganggap bangku itu ada, karena terletak jauh dibelakang, pojok pula. Dengan langkah tergontai, aku harus bisa menerima kenyataan bahwa aku akan duduk dibangku itu, yang penting aku masih bisa menyimak pelajaran.

Tiba-tiba bel berbunyi. Dan Bu Siska memasuki kelasku dengan anggunnya. "Ya, anak-anak, kali ini kelas kita kedatangan siswi baru, mungkin sebagian dari kalian sudah mengenalnya karena dia ini seorang model disalah satu majalah remaja.", kata Bu Siska dengan senyum merekah diwajahnya. Disaat seperti ini saja, beliau ramah. Andai saja disetiap jam pelajarannya pasti tidak sedikit siswa yang senam jantung, papan tulis yang terbelah akibat pukulan mautnya dan penghapus yang hilang entah kemana akibat lemparan hattricknya.

Kelas sontak mulai riuh. Siswa perempuan mulai bergosip ria menebak siapa yang akan menjadi siswi baru dikelas ini. Sedangkan siswa laki-laki sibuk bercermin, menyisir rambut, bahkan tak sedikit dari mereka yang mulai menulis. Rajin sekali, tapi sayang, bukannya menulis pelajaran melainkan menuliskan puisi ataupun surat cinta untuk siswi baru itu. Pelajar jaman sekarang memang ajaib sekali.

Bu Siska mulai menenangkan kelas yang gaduh itu, "Diam anak-anak!", teriaknya. Sontak kelas langsung hening. Tiba-tiba masuklah seorang gadis cantik, manis, putih, tinggi, dan seperti penampilannya, dia terlihat orang kaya. Tetapi menurutku kecentilan, kegenitan, dan terlalu banyak gaya, itu membuat kesempurnaan fisiknya runtuh. "Kenalin, namaku Kesha. Umur 15tahun. Hobbyku keliling dunia dan punya banyak cowok. Kalau ada yang mau daftar SMS aja ke nomor 081888675555, jangan lupa ketik 'hai' (spasi) 'cantik', dan satu lagi jangan lupa nyebutin nama pengirim ya", katanya untuk memperkenalkaan diri,

Kelas gaduh kembali. Siswa laki-laki langsung mencatat nomor itu, tapi tak banyak juga yang mengusir teman sebangku mereka agar siswi itu bisa duduk disebelah mereka. Aneh sekali dia, Percaya dirinya sangat tinggi. Jangan sampai aku akrab dengannya. Naudzubillah, pasti dia orang yang sangat menyebalkan, gumamku dalam hati. Sudahlah, kualihkan pandanganku pada sosok pujaan hatiku. Ah dia melihatku, senangnya hatiku. Andai dia tahu perasaanku yang sebenarnya.

Sedang asyiknya melamun dan memikirkan pujaan hatiku itu, tiba-tiba sesosok manusia menghampiri bangku ku dan berkata, "Hei, aku bolehkan duduk disebelahmu?". Aku tersentak kaget. Apa??? Inikan orang aneh itu, Siapa namanya? Kesha? Ah aku tidak peduli siapa namanya. Lalu apa yang harus ku katakan? pikirku. Spontan bibirku bergerak dan membentuk suara, "boleh kok". Alamak, apa yang kukatakan tadi? Bisa-bisanya aku menyanggupi kata-katanya. Baik, cukup hari ini saja. Besok jangan sampai aku duduk dengannya lagi.

Tadinya aku mengira Kesha anak yang cerewet, heboh, banyak tingkah. Tapi ternyata selama pelajaran dia hanya diam. Alamak, kemana rasa percaya dirinya tadi? Menarik juga anak ini. Tapi jangan sampai aku akrab dengannya. Jangan sampai. Aku harus menampilkan kesan buruk padanya bahwa aku tidak mau akrab dengannya. Dia mengajakku bicara, aku hanya menjawab singkat. Dia bertanya sesuatu, aku menjawab dengan nada ketus. Dia melucu, aku hanya tertawa namun hanya pura-pura, bahkan aku tidak tertawa sekalipun. Kejam, tak adil, aku tahu. Tapi aku punya batasan tersendiri untuk tidak berteman orang seperti dia.

Esoknya, aku sengaja berangkat siang tapi tidak terlambat. Aku melakukannya agar aku tak duduk dengannya lagi. Tak apa duduk dibangku menyebalkan itu, asalkan aku tak sebangku dengan anak itu. Toh dia juga berangkat pagi, pastilah dia akan duduk didepan bersama teman sebagku barunya. Namun tak kusangka, ternyata dugaanku salah. Salah besar. Rencanaku gagal. Memang, dia duduk dibangku depan tetapi dia telah mengosongkan satu bangku sampingnya untuk kududuki. Hebat. Ternyata dia cukup sabar menghadapi perlakuanku ini. Atau mungkin tak ada yang mau duduk dengannya? Entahlah, aku sangat sial.

Bel istirahat berbunyi, aku bergegas mendatangi salah satu bangku temanku dan bertanya, "Apa tadi tidak ada yang mau duduk dengan Kesha? Kenapa bangku sebelahnya kosong?". "Tidak. Tadi justru banyak yang ingin duduk dengan Kesha, tapi dia bilang bangku itu untukmu." Alamak, apa yang dia lakukan? Kesha memang anak yang aneh.....

Bersambung...

Senin, 20 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (end)

Maaf ya posting cerita lanjutannya agak lama. Lagi sibuk nih, yang lupa cerita sebelumnya bisa klik disini. Lanjut yuk, cekidot~

Hari ini aku berangkat sekolah dengan perasaan yang sudah tentram. Aku tak menyembunyikan rasa marah, dengki, dendam, bahkan benci pada Kesha. Aku memang marah pada Kesha, tapi itu kemarin, aku sudah memaafkannya. Saat aku masuk kelas, Dicky memperhatikanku. Aku acuh padanya dan tak memperdulikannya. Tiba-tiba dia menghampiriku, "Kamu kemana saja sudah 4 hari tak masuk?", tanyanya. Aku tak menjawab. Dia bertanya lagi, "Kamu kenapa tidak menjawab?". Aku masih belum ingin berbicara. Akhirnya dia menyerah dan kembali ke bangkunya. Bel berbunyi. Kesha belum juga terlihat. Sampai pelajaran dimulaipun dia belum juga terlihat. Mungkin saja dia tak masuk, tapi mengapa? Katanya memang sudah dua hari ini dia tak masuk sekolah.

Esoknya, aku sengaja untuk berangkat lebih pagi agar membuat Kesha terkejut. Awalnya aku merasa senang karena berhasilberangkat mendahului Kesha, tapi hingga bel masuk berbunyi, ia belum juga terlihat. Rupanya dia tak masuk lagi, namun kali ini berbeda, aku seperti mempunyai firasat yang buruk. Bu Siska mulai memasuki kelas, "Selamat pagi anak-anak", sapanya. "Pagi buuu!", seru kami menjawab sapaannya. "Anak-anak hari ini kita mendapat kabar buruk. Kesha yang sudah tiga hari tak masuk sekolah mendapat musibah, dia koma selama beberapa hari di rumah sakit dan sampai saat ini dia belum sadarkan diri. Ibu harap kalian bisa mendoakan Kesha agar cepat sembuh dan berkumpul bersama kita lagi. Disamping itu.......". Belum selesai Bu Siska melanjutkan pembicaraanya, aku sontak berdiri dan berlari keluar kelas, Dicky mengejarku, aku tak peduli, aku berlari, dia kali ini tak menyerah dan terus mengejarku. Tanganku tertangkap oleh genggamannya. "Sal, tunggu. Aku akan mengantarmu!". Aku tak kuat untuk melepaskan genggamannya dan terpaksa enurut permintaannya walau sebenarnya aku tak mau.

Sesampainya disana aku meninggalkan Dicky yang sedang mermarkir motornya, aku langsug berlari memasuki rumah sakit dan bertanya dimana kamar Kesha berada. Sambil mengusap air mata yang sejak tadi menetes, aku bergegas menuju kamar Kesha. Sambil berjalan, aku kembali panik. Tanganku gemetar. Jantungku berdetak begitu kencang, Aku takut. Aku menyesal. Aku hanya bisa menangis, "Jangan tinggal kan aku Sha, sebelum kujelaskan semuanya padamu!", teriakku dalam hati.

Akupun sampai didepan kamarnya. "Salsa ya? Silahkan masuk. Kesha sudah menunggumu dari tadi, kata sesosok wanita parubaya dengan senyum ramahnya. Itu ibunya. Aku tak mengerti. Mengapa semua orang yang berada didepan kamar Kesha menangis? Ayah dan Ibunyasaling berpelukan dan tak berhenti meneteskan air mata. Aku takut. Sangat takut. Air mataku yang tadi mengalir deras, kuhapus walau nafasku masih terisak. Rasa sakit didadaku terus kutahan agar tak meluap nantinya. Aku tak ingin Kesha melihatku dengan keadaan seperti ini.

Aku memasuki kamarnya, disitulah terbaring sosok perempuan yang ku kenal. Air matanya terus mengalir saat dia meihatku. Sangat terlihat bahwa selama ini dia terus menahan rasa sakit. "Ke....sha.... a..a..aku....", belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, dia tersenyum dan berkata, "Selamat tinggal Salsa, semoga kamu bahagia. Aku sangat senang menjadi sahabatmu." Kata-kata itu adalah kata-kata terakhir yang terucap dari mulutnya. Belum sempat aku bercanda, berdebat, tertawa bersamanya lagi. Semua berlalu begitu cepat. Aku menangis. Aku tak bisa menahan bendungan air mataku. Aku memeluknya. Sosok perempuan itu sudah memejamkan matanya, selamanya. Alat pengukur detak jantung sudah menunjukan bhwa jantungnya tak berdetak lagi. Nafasnya sudah terhenti. Tubuh yang saat ini ku peluk sudah kaku, tangan dan kakinya dingin. Aku mulai melepaskan pelukanku, aku melihat wajahnya. Senyuman manis itu terus terpancar pada wajahnya ditubuh tak bernyawa itu. Aku menyesal. Sangat menyesal. Rasa sakit ini tak bisa kutahan.

"Keshaaaaaaa! Maafkan aku! Aku menyesal Kesha! Aku belum mengucapkan itu padamu!", teriakku. Dicky memelukku. Memelukku sangat erat. Memang pelukan itu yang aku inginkan tapi tidak ku inginkan untuk saat ini. Aku merasa sesak. Aku tak menginkan pelukanini, aku hanya menginginkan Kesha. Siangnya jasad Kesha langsung dimakamkan. Aku sudah tak menangis. Walau ku tahu rasa sakit dihatiku masih terasa dan aku ingin sekali menangis tapi aku tak mau membuat Kesha sedih, aku ingin Kesha bahagia disurga, karna dia juga menginginkan aku bahagia disini. Setelah pemakaman Dicky meminta untuk mengantarkanku pulang, lagi-lagi aku menuruti permintaannya. Dicky bukannya mengantarku pulang tetapi dia mengajakku ke suatu tempat, tempat dimana Kesha menjelaskan semuanya pada Dicky. Tempat itu sangat indah. "Disini Kesha menjelaskan semuanya. Dia menjelaskan setelah kau melihat kami saat pulang sekolah. Dia menolak cintaku, lalu dia mengajakku ketempat ini. Ini tempat favorit kalian bukan? Aku jatuh cinta pada tempat ini. Tempat ini sangaaat indah.", jelas Dicky dengan mata berbinar sambil melihat pemandangan sekitar. Ya memang disini tempat favorit kami. Kami memang suka pemandangan. Hamparan sawah, ya kami sangat suka hamparan sawah. Aku belum menjawab ucapan Dicky. Aku membisu. Aku tak tau apa yang harus kukatakan. "Kesha menjelaskan semuanya tentangmu, Salsa. Semuanya. Tak ada yang terlewat. Rasanya Kesha tau semua tentangmu. Aku menyukaimu, Salsa. Lebih dari aku menyukai Kesha. Aku jatuh cinta padamu bukan karna permintaan Kesha saja, tapi dari hatiku yang paling dalam.", jelasnya lagi. Aku tak bisa bicara. Aku menatap Dicky. Dia tersenyum. Apa yang harus kukatakan?. "Ijinkan aku untuk menjadi pacarmu, Salsa..", sambungnya sambil menggenggam tanganku. Aku melepas genggamannya. "Maafin aku Dicky. Aku memang mencintaimu, sejak lama. Tapi aku tak bisa untuk menjadi pacarmu. Aku tak bisa bahagia denganmu sedangkan Kesha tak bisa melihatku bahagia", jawabku sambil terisak. "Dia bisa meihatmu bahagia, bahkan dia bisa merasakannya.", timpal Dicky. "Tapi aku yang tak bisa, maaf kan aku", balasku sambil menangis. "Tak apa, sudah tak usah menangis", katanya sambil mengusap air mataku dengan senyuman ramahnya. Tiba-tiba dia mengambil sepucuk surat dari kantongnya, "Ini surat dari Kesha, lebih baik kau membacanya dirumah. Ayo ku antarkan kamu pulang.", katanya. Sesampainya di rumah, aku membuka surat itu yang berisi..

     dear Salsa,
Maaf karena aku telah mengecewakanmu
Maaf aku tak bermaksud untuk mengkhianatimu
Kemarin, pernyataan cinta Dicky padaku ku tolak
Karena aku berjanji, aku selalu mendukungmu
Aku juga minta maaf..
Selama ini aku mengidap kanker paru-paru
Aku ingin menceritakan padamu selagi sempat
Namun ternyata waktuku tak sempat
Maaf aku tak bermaksud untuk merahasiakan ini darimu
Salsa... Terimakasih
Aku senang menjadi sahabtmu
Aku bahagia saat bercanda dan bertengkar bersamamu
Terimakasih kau mau menerimaku walau awalnya kau memembenciku
Terimakasih... hanya kamu yang memandangku berbeda
Terimakasih... kamu telah memeperlakukanku seperti manusia biasa
Terimakasih Salsa.. karnamu aku dapat tertawa bebas tanpa beban
Terimakasih.. kuharap kau tetap senang dan selalu riang
Semoga kamu tetap menjadi Salsa yag kukenal, tak pernah berubah..

-Kesha-

Surat itu membuatku kembali meneteskan air mata. Aku berjanji pada diriku sendiri untuku dan untuk Kesha agar aku tetap riang, senang, dan tak akan berubah seperti yang Kesha kenal. "Sama-sama Kesha. Aku juga senang menjadi sahabatmu. Aku menyayangimu..", bisikku dalam hati.


-TAMAT-

Minggu, 12 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (part II)

Kali  ini mau posting tentang lanjutan cerpen kemaren ya, yang belum tau bisa lihat disini :) So, enjoy reading guys;)

Behari-hari aku tetap duduk dengannya, Kesha memang orang yang cukup asyik, ramah, cerdas, terbuka, dan juga dermawan. Karena hamir setiap jam istirahat, dia selalu membagi sedikit bekal makanannya untukku, padahal aku juga sudah membawa bekal makanan. Terkadang, kalau ada pelajaran yang tidak aku mengerti, dia selalu siap menjelaskan kepadaku. Benar-benar hebat anak ini.

Tetapi tak semua itu berjalan lancar. Kami juga sering bertengkar karna masalah sepele. Pernah saat aku mengambil penghapus tiba-tiba Kesha merebut dan mangakui bahwa penghapus itu miliknya. Karena aku yang menemukannya, aku tak mau kalah dan aku memprotes. Akhirnya aku mengalah, ku berikan penghapus itu pada Kesha. Setelah itu kami masih memperdebatkan karet apa yang digunakan untuk membuat penghapus itu. Sering kali kami juga memperdebatkan sesuatu yang tak wajar untuk diperdebatkan seorang siswi SMA. Seperti siapa yang mengurusi masalah uang kenegaraan, masalah devisa negara, masalah demokrasi, hingga mahalnya ikan para nelayan. Aneh memang, tapi menurutku itu hal yang menarik.

Setelah banyak hal yang kami hadapi bersama, akupun merasa akrab dengannya. Alamak, pergi kemana keteguhanku bahwa aku tak ingin akrab dengannya? Entahlah, aku sudah tidak memikirkannya. Toh pepatah juga bilang bahwa manusia bisa berubah sewakttu-waktu. Tentu saja aku masuk dalam golongan manusia itu. Lagian Kesha juga sudah berjuang semampunya untuk tetap bertahan menjadi temanku dalam menghadapi sikapku itu, tak ada salahnya aku menghargai itu.

Hari ini, entah mengapa aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pujaan hatiku. Dicky namanya. Apa dia punya perasaan padaku? Apa aku bisa menyatakan cinta pada Dicky? Atau aku harus menunggunya untuk menyatakan cinta kepadaku? Entah. Aku tidak tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. "Hei, kamu kok melamun? Ngeliatin siapa sih?", tanya Kesha yang mengagetkan ku. Kesha berusahan mencari-cari arah pandanganku kepada siapa. Aku hanya tersenyum kecil. "Dicky ya!", teriaknya. Sontak aku langsung menutup mulutnya, dan untung saja Dicky tidak mendengarnya. Aku berusaha untuk tidak salah tingkah dan menggoda Kesha untuk menutupinya, "Hah? Eh? Enggak. Hayoooo! Jangan-jangan kamu yang suka pada Dicky!". "Iya, aku suka padanya", jawab Kesha santai tapi penuh keyakinan. Mulutku menganga. Tubuhku lemas. Tak tau apalagi yang harus kukatakan. Bagaimana bisa kami menyukai orang yang sama? Apa aku harus merelakan Dicky untuk Kesha? Atau aku tak memerdulikan perasaan Kesha sehingga aku tetap menyukai Dicky? Hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul dalam pikiranku. Sepertinya Kesha mengerti raut wajah dan kepanikanku saat itu. "Tenang saja, aku hanya bercanda. Aku sangat mendukung rasa sukamu itu", sambung Kesha sambil mengedipkan satu matanya. Kami pun tertawa.

Akhir-akhir ini Dicky sering memandang ke arah bangkuku. Entah memandangi Kesha atau memandangiku. Tapi aku selalu berharap dia memang memandangiku. Kalau memang dia memandangi Kesha, yang kutahu Kesha selalu acuh. Akupun merasa lega dengan sikap Kesha terhadap Dicky. Alangkah baiknya Kesha. Beruntung sekali aku mendapatkan sahabat sepertinya. Sahabat sejati yang selalu mengerti perasaanku. Aku berencana untuk memberitahu pada Kesha tentang perasaanku pada Dicky.

Hari ini, sepulang sekolah Kesha sudah menghilang entah kemana, dia sama sekali tak berpamitan padaku. Karna memang kami biasa pulang bersama. Mungkin saja dia langsung pulang untuk pemotretan seperti beberapa hari lalu, namun hari ini aneh, dia tak berpamitan sama sekali. Akupun berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan. Setelah lama menunggu, aku memutuskan untuk menaikki angkutan umum. Karna aku merasa malas untuk pulang terlalu cepat, aku memutuskan menunggu angkutan umum itu tidak ditempat seperti biasanya, aku ingin memutari kota terlebih dahulu. Saat perjalanan menuju halte angkutan umum, aku bertemu dengan Dicky. Senang bukan kepalang perasaanku saat itu. Namun perasaanku tiba-tiba menjadi rasa sakit karna aku melihat Kesha disana bersama Dicky. Sedang apa mereka?

"Kesha maukah kamu menjadi pacarku?", ucap Dicky sambil memegang tangan Kesha. Ucapan itu terdengar jelas ditelingaku. Kaget, sesak,sakit, bingung, kesal, marah, emosi, semua itu bercampur aduk memenuhi kepalaku dan perasaan-perasaan itu menggumpal dalam hatiku. Kesha yang tiba-tiba sadar akan kehadiranku, langsung menepis genggaman tangan Dicky. Dia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berteriak. "Salsa! Ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku tak bermaksud apapun. Ini hanya......". Aku tak mendengarkan ucapannya lagi. Aku menutup telingaku dan berlari terus menerus tanpa mengalihkan pandanganku ke arahnya yang terus memanggilku. Dicky juga berusaha mengejarku, aku menghiraukannya.  Tanganku tertangkap oleh genggapan Dicky, aku melepaskannya, dan terus berlari sambil menangis. Perasaanku campur aduk.

Esoknya aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah. Pikiranku kacau, aku takut jika masuk sekolah aku tidak bisa mengikuti pelajaran. Kesha terus menghubungiku. Tapi aku acuh dan membiarkannya. Dua hari aku tak masuk sekolah, dua hari itu juga dia tak berhenti untuk menghubungiku. Hari ketiga, akhirnya dia menyerah dan tidak menghubungiku. Aku memikirkan sikap apa yang harus kuambil. Bagaimana harus mengambil keputusan yang bijak agar tak menyakiti siapapun? Aku merasa akan dikhianati. Setelah aku berpikir panjang. Akupun letih. Aku mengingat peristiwa-peristiwa menyenangkan bersamanya. Kesha adalah sahabat terbaikku. Dia tidak pernah sengaja menyakitiku. Dia baik padaku. Dia selalu mengerti apa yang kurasakan dan kupikirkan. Tapi apa yang dia lakukan tiga hari yang lalu. Dia tiba-tiba menghilang dan aku menemukannya saat dia bersama pujaan hatiku, orang yang kusukai, Dicky. 

Setelah beberapa hari tak masuk sekolah, aku memutuskan untuk masuk dan bercerita tentang apa yang kupikirkan. Dan kami pasti bisa bercanda, bertengkar, berdebat, tertawa bersamanya lagi.

Bersambung...

Jumat, 10 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (part I)

"Selamat tinggal Salsa. Semoga kamu bahagia", kata sesosok manusia sambil berisak memandangku. Aku tidak mengingatnya dengan jelas, namun rasa sakit dihatiku masih kurasakan. Wajahnya yang seperti terpaksa menampakan senyuman. Pandangannya yang seakan berat untuk berpaling dariku dan air matanya yang terus mengalir membasahi pipinya.

JEDEEEEEER!! Suara petir membangunkan dari mimpi yang tadi ku alami. Gelap. Suara hujan terdengar sangat keras. Listrik mati, mungkin memang sengaja dimatikan oleh pusat karena cuaca yang sangat buruk. Ku ambil lilin diatas almari, ku nyalakan perlahan. Sudah subuh ternyata. Akupun beranjak mengambil air wudlu dan menunaikan sholat subuh. Setelah itu aku melakukan rutinitas yang biasa dilakukan oleh seorang pelajar sebelum berangkat sekolah.

Akhirnya aku sampai disekolah setelah berjuang dengan kakakku untuk melewati licinnya jalan raya karena tadi pagi hujan turun sangat deras. Satu menit saja terlewat, aku bisa terlambat dan mungkin aku bisa berlari mengelilingi lapangan sebanyak 10kali. Sampai kelas, hatiku mulai tenang Capek memang, tapi tak apa asalkan aku tidak terjebak dalam hukuman maut itu. Namun sialnya, karena aku sampai disekolah sudah siang, tak ada bangku yang tersisa dikelas. Sebenarnya ada, tapi aku tak pernah menganggap bangku itu ada, karena terletak jauh dibelakang, pojok pula. Dengan langkah tergontai, aku harus bisa menerima kenyataan bahwa aku akan duduk dibangku itu, yang penting aku masih bisa menyimak pelajaran.

Tiba-tiba bel berbunyi. Dan Bu Siska memasuki kelasku dengan anggunnya. "Ya, anak-anak, kali ini kelas kita kedatangan siswi baru, mungkin sebagian dari kalian sudah mengenalnya karena dia ini seorang model disalah satu majalah remaja.", kata Bu Siska dengan senyum merekah diwajahnya. Disaat seperti ini saja, beliau ramah. Andai saja disetiap jam pelajarannya pasti tidak sedikit siswa yang senam jantung, papan tulis yang terbelah akibat pukulan mautnya dan penghapus yang hilang entah kemana akibat lemparan hattricknya.

Kelas sontak mulai riuh. Siswa perempuan mulai bergosip ria menebak siapa yang akan menjadi siswi baru dikelas ini. Sedangkan siswa laki-laki sibuk bercermin, menyisir rambut, bahkan tak sedikit dari mereka yang mulai menulis. Rajin sekali, tapi sayang, bukannya menulis pelajaran melainkan menuliskan puisi ataupun surat cinta untuk siswi baru itu. Pelajar jaman sekarang memang ajaib sekali.

Bu Siska mulai menenangkan kelas yang gaduh itu, "Diam anak-anak!", teriaknya. Sontak kelas langsung hening. Tiba-tiba masuklah seorang gadis cantik, manis, putih, tinggi, dan seperti penampilannya, dia terlihat orang kaya. Tetapi menurutku kecentilan, kegenitan, dan terlalu banyak gaya, itu membuat kesempurnaan fisiknya runtuh. "Kenalin, namaku Kesha. Umur 15tahun. Hobbyku keliling dunia dan punya banyak cowok. Kalau ada yang mau daftar SMS aja ke nomor 081888675555, jangan lupa ketik 'hai' (spasi) 'cantik', dan satu lagi jangan lupa nyebutin nama pengirim ya", katanya untuk memperkenalkaan diri,

Kelas gaduh kembali. Siswa laki-laki langsung mencatat nomor itu, tapi tak banyak juga yang mengusir teman sebangku mereka agar siswi itu bisa duduk disebelah mereka. Aneh sekali dia, Percaya dirinya sangat tinggi. Jangan sampai aku akrab dengannya. Naudzubillah, pasti dia orang yang sangat menyebalkan, gumamku dalam hati. Sudahlah, kualihkan pandanganku pada sosok pujaan hatiku. Ah dia melihatku, senangnya hatiku. Andai dia tahu perasaanku yang sebenarnya.

Sedang asyiknya melamun dan memikirkan pujaan hatiku itu, tiba-tiba sesosok manusia menghampiri bangku ku dan berkata, "Hei, aku bolehkan duduk disebelahmu?". Aku tersentak kaget. Apa??? Inikan orang aneh itu, Siapa namanya? Kesha? Ah aku tidak peduli siapa namanya. Lalu apa yang harus ku katakan? pikirku. Spontan bibirku bergerak dan membentuk suara, "boleh kok". Alamak, apa yang kukatakan tadi? Bisa-bisanya aku menyanggupi kata-katanya. Baik, cukup hari ini saja. Besok jangan sampai aku duduk dengannya lagi.

Tadinya aku mengira Kesha anak yang cerewet, heboh, banyak tingkah. Tapi ternyata selama pelajaran dia hanya diam. Alamak, kemana rasa percaya dirinya tadi? Menarik juga anak ini. Tapi jangan sampai aku akrab dengannya. Jangan sampai. Aku harus menampilkan kesan buruk padanya bahwa aku tidak mau akrab dengannya. Dia mengajakku bicara, aku hanya menjawab singkat. Dia bertanya sesuatu, aku menjawab dengan nada ketus. Dia melucu, aku hanya tertawa namun hanya pura-pura, bahkan aku tidak tertawa sekalipun. Kejam, tak adil, aku tahu. Tapi aku punya batasan tersendiri untuk tidak berteman orang seperti dia.

Esoknya, aku sengaja berangkat siang tapi tidak terlambat. Aku melakukannya agar aku tak duduk dengannya lagi. Tak apa duduk dibangku menyebalkan itu, asalkan aku tak sebangku dengan anak itu. Toh dia juga berangkat pagi, pastilah dia akan duduk didepan bersama teman sebagku barunya. Namun tak kusangka, ternyata dugaanku salah. Salah besar. Rencanaku gagal. Memang, dia duduk dibangku depan tetapi dia telah mengosongkan satu bangku sampingnya untuk kududuki. Hebat. Ternyata dia cukup sabar menghadapi perlakuanku ini. Atau mungkin tak ada yang mau duduk dengannya? Entahlah, aku sangat sial.

Bel istirahat berbunyi, aku bergegas mendatangi salah satu bangku temanku dan bertanya, "Apa tadi tidak ada yang mau duduk dengan Kesha? Kenapa bangku sebelahnya kosong?". "Tidak. Tadi justru banyak yang ingin duduk dengan Kesha, tapi dia bilang bangku itu untukmu." Alamak, apa yang dia lakukan? Kesha memang anak yang aneh.....

Bersambung...