Selasa, 02 April 2013

Sosok



Dalam gelapnya malam kelam yang tertutup oleh saputan awan hingga tak ada bintang yang terlihat dilangit, wanita paruh baya itu duduk termenung di beranda gubuk sederhanya. Dari sorot matanya yang memandangi langit mendung dimalam hari, aku melihat kepedihan perasaannya saat ini. Dua belas tahun berlalu, ia hidup sendirian di gubuk sederhana.

Aku mungkin bisa disebut orang baru dalam perkampungan ini. Perkampungan yang jauh dari riuhnya kota, yang bahkan hanya sedikit mendapatkan sentuhan aliran listrik. Hanya bangunan-bangunan tertentu saja yang mendapat aliran listrik, seperti balai desa dan masjid kampung. Untuk ke kota saja, penduduk  harus berjalan 4 kilometer untuk sampai distasiun kecil menuju stasiun kota kabupaten.

Lima tahun aku tinggal di kampung pedalaman ini, aku tak pernah berpikiran untuk kembali ke kota. Karna jika aku memutuskan untuk kembali ke kota itu sama artinya dengan aku kembali dengan masa laluku yang kelam.

Sebenarnya aku pergi ke kampung ini bukan memiliki maksud khusus untuk mengabdi misalnya atau apapun. Aku pergi ke kampung ini hanya untul mengikuti tujuan otakku saat itu, ‘pergi dari rumah sejauh-jauhnya’, itu saja. Dan sampailah aku di kampung pedalaman ini, kampung yang bahkan sinyal tidak bisa dijangkau sekalipun kau menaiki bukit dan pegunungan dipucuk hutan sana.

Sebentar itu aku tinggal di kampung ini, aku bisa mulai terbiasa akan keadaan kampung ini. Kampung yang penduduknya ramah dan leluhur-leluhur yang sangat menanamkan arti kebersamaan.

“Uhuk…huk..uhuk..”, tanpa sadar aku telah meminum ampas kopi malam ini yang membuat aku tersedak. Rupanya kopinya sudah habis. Aku kembali memandang gubuk itu, wanita itu ternyata masih ada. Sepertinya sudah lama sekali aku memikirkan masa laluku. Wanita itu tiba-tiba masuk dan suara pintu yang tertutup itu membuyarkan lamunanku.

Aku segera masuk rumah karna udara malam yang semakin dingin menembus pori-pori kulit. Aku merenggangkan tubuhku diatas ranjang dan menutupi badanku dengan kemul kusut. Aku berpikir sesuatu.

Lima tahun silam.
“Aku tidak akan bisa memaafkanmu!”, wanita itu mendorong seorang lelaki ke ambang pintu.
“Kau membunuh darah dagingmu sendiri! Akal sehatmu ditaruh mana hah?! Dimana otak yang kau gunakan untuk bekrja mendapatkan uang? Dimana perasaan yang kau gunakan untuk menyayangi Mona? Apa kau tidak bisa menyayangi Maya? Pergi dari rumah ini!” Wanita itu masih memaki-maki lelaki itu. Dan lelaki itu hanya bisa termangu dalam diam, dan dengan tampang pias menunduk.

“Mengapa kau diam saja? Kau tak berani menjawab? Apa gunanya kau menjadi seorang ayah jika membunuh anakmu sendiri?”, wanita itu besungut-sungut dengan muka merah padam.
“ITU KARNA MAYA BUKAN DARAH DAGINGKU! MAYA ADALAH DARAH DAGING LELAKI LAIN!”, timpal lelaki itu setelah mengumpulkan alasan untuk menjawab.
“Kau… Tutup mulutmu! Tutup harimaumu itu! Maya itu anakku!”, jawab wanita itu sambil terisak.
“Dia anakmu, tapi bukan anakku!”
“Lantas apa artinya janji-janji kau dulu yang ingin menyanyangi anakku?”
“AKU MURKA DENGAN ANAKMU!” jawaban lelaki itu terdengar seperti perasaan amarah yang telah dipendam dalam hatinya sejak lama.

GLEGAAAAAR!!! Suara petir membangunkanku dari mimipi burukku. “Mimpi….itu hanya mimpi.. Mimpi yang berkisah masa laluku.” Adzan subuh berkumandang dari masjid kampung. Aku berusaha bangun dan bergegas mengambil air suci untuk berwudhu. Menuju masjid dengan pikiran yang semrawut. Pikiran tentang masa laluku.

Dalam sujud sholat subuhku, aku merasa kepalaku susah diangkat untuk melakukan atahiyyat akhir. Tapi kepalaku benar-benar sulit digerakkan dan aku tidak sadaran diri. Aku hanya merasa kelam. Gelap. Semua gelap.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 02 April 2013

Sosok



Dalam gelapnya malam kelam yang tertutup oleh saputan awan hingga tak ada bintang yang terlihat dilangit, wanita paruh baya itu duduk termenung di beranda gubuk sederhanya. Dari sorot matanya yang memandangi langit mendung dimalam hari, aku melihat kepedihan perasaannya saat ini. Dua belas tahun berlalu, ia hidup sendirian di gubuk sederhana.

Aku mungkin bisa disebut orang baru dalam perkampungan ini. Perkampungan yang jauh dari riuhnya kota, yang bahkan hanya sedikit mendapatkan sentuhan aliran listrik. Hanya bangunan-bangunan tertentu saja yang mendapat aliran listrik, seperti balai desa dan masjid kampung. Untuk ke kota saja, penduduk  harus berjalan 4 kilometer untuk sampai distasiun kecil menuju stasiun kota kabupaten.

Lima tahun aku tinggal di kampung pedalaman ini, aku tak pernah berpikiran untuk kembali ke kota. Karna jika aku memutuskan untuk kembali ke kota itu sama artinya dengan aku kembali dengan masa laluku yang kelam.

Sebenarnya aku pergi ke kampung ini bukan memiliki maksud khusus untuk mengabdi misalnya atau apapun. Aku pergi ke kampung ini hanya untul mengikuti tujuan otakku saat itu, ‘pergi dari rumah sejauh-jauhnya’, itu saja. Dan sampailah aku di kampung pedalaman ini, kampung yang bahkan sinyal tidak bisa dijangkau sekalipun kau menaiki bukit dan pegunungan dipucuk hutan sana.

Sebentar itu aku tinggal di kampung ini, aku bisa mulai terbiasa akan keadaan kampung ini. Kampung yang penduduknya ramah dan leluhur-leluhur yang sangat menanamkan arti kebersamaan.

“Uhuk…huk..uhuk..”, tanpa sadar aku telah meminum ampas kopi malam ini yang membuat aku tersedak. Rupanya kopinya sudah habis. Aku kembali memandang gubuk itu, wanita itu ternyata masih ada. Sepertinya sudah lama sekali aku memikirkan masa laluku. Wanita itu tiba-tiba masuk dan suara pintu yang tertutup itu membuyarkan lamunanku.

Aku segera masuk rumah karna udara malam yang semakin dingin menembus pori-pori kulit. Aku merenggangkan tubuhku diatas ranjang dan menutupi badanku dengan kemul kusut. Aku berpikir sesuatu.

Lima tahun silam.
“Aku tidak akan bisa memaafkanmu!”, wanita itu mendorong seorang lelaki ke ambang pintu.
“Kau membunuh darah dagingmu sendiri! Akal sehatmu ditaruh mana hah?! Dimana otak yang kau gunakan untuk bekrja mendapatkan uang? Dimana perasaan yang kau gunakan untuk menyayangi Mona? Apa kau tidak bisa menyayangi Maya? Pergi dari rumah ini!” Wanita itu masih memaki-maki lelaki itu. Dan lelaki itu hanya bisa termangu dalam diam, dan dengan tampang pias menunduk.

“Mengapa kau diam saja? Kau tak berani menjawab? Apa gunanya kau menjadi seorang ayah jika membunuh anakmu sendiri?”, wanita itu besungut-sungut dengan muka merah padam.
“ITU KARNA MAYA BUKAN DARAH DAGINGKU! MAYA ADALAH DARAH DAGING LELAKI LAIN!”, timpal lelaki itu setelah mengumpulkan alasan untuk menjawab.
“Kau… Tutup mulutmu! Tutup harimaumu itu! Maya itu anakku!”, jawab wanita itu sambil terisak.
“Dia anakmu, tapi bukan anakku!”
“Lantas apa artinya janji-janji kau dulu yang ingin menyanyangi anakku?”
“AKU MURKA DENGAN ANAKMU!” jawaban lelaki itu terdengar seperti perasaan amarah yang telah dipendam dalam hatinya sejak lama.

GLEGAAAAAR!!! Suara petir membangunkanku dari mimipi burukku. “Mimpi….itu hanya mimpi.. Mimpi yang berkisah masa laluku.” Adzan subuh berkumandang dari masjid kampung. Aku berusaha bangun dan bergegas mengambil air suci untuk berwudhu. Menuju masjid dengan pikiran yang semrawut. Pikiran tentang masa laluku.

Dalam sujud sholat subuhku, aku merasa kepalaku susah diangkat untuk melakukan atahiyyat akhir. Tapi kepalaku benar-benar sulit digerakkan dan aku tidak sadaran diri. Aku hanya merasa kelam. Gelap. Semua gelap.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 02 April 2013

Sosok



Dalam gelapnya malam kelam yang tertutup oleh saputan awan hingga tak ada bintang yang terlihat dilangit, wanita paruh baya itu duduk termenung di beranda gubuk sederhanya. Dari sorot matanya yang memandangi langit mendung dimalam hari, aku melihat kepedihan perasaannya saat ini. Dua belas tahun berlalu, ia hidup sendirian di gubuk sederhana.

Aku mungkin bisa disebut orang baru dalam perkampungan ini. Perkampungan yang jauh dari riuhnya kota, yang bahkan hanya sedikit mendapatkan sentuhan aliran listrik. Hanya bangunan-bangunan tertentu saja yang mendapat aliran listrik, seperti balai desa dan masjid kampung. Untuk ke kota saja, penduduk  harus berjalan 4 kilometer untuk sampai distasiun kecil menuju stasiun kota kabupaten.

Lima tahun aku tinggal di kampung pedalaman ini, aku tak pernah berpikiran untuk kembali ke kota. Karna jika aku memutuskan untuk kembali ke kota itu sama artinya dengan aku kembali dengan masa laluku yang kelam.

Sebenarnya aku pergi ke kampung ini bukan memiliki maksud khusus untuk mengabdi misalnya atau apapun. Aku pergi ke kampung ini hanya untul mengikuti tujuan otakku saat itu, ‘pergi dari rumah sejauh-jauhnya’, itu saja. Dan sampailah aku di kampung pedalaman ini, kampung yang bahkan sinyal tidak bisa dijangkau sekalipun kau menaiki bukit dan pegunungan dipucuk hutan sana.

Sebentar itu aku tinggal di kampung ini, aku bisa mulai terbiasa akan keadaan kampung ini. Kampung yang penduduknya ramah dan leluhur-leluhur yang sangat menanamkan arti kebersamaan.

“Uhuk…huk..uhuk..”, tanpa sadar aku telah meminum ampas kopi malam ini yang membuat aku tersedak. Rupanya kopinya sudah habis. Aku kembali memandang gubuk itu, wanita itu ternyata masih ada. Sepertinya sudah lama sekali aku memikirkan masa laluku. Wanita itu tiba-tiba masuk dan suara pintu yang tertutup itu membuyarkan lamunanku.

Aku segera masuk rumah karna udara malam yang semakin dingin menembus pori-pori kulit. Aku merenggangkan tubuhku diatas ranjang dan menutupi badanku dengan kemul kusut. Aku berpikir sesuatu.

Lima tahun silam.
“Aku tidak akan bisa memaafkanmu!”, wanita itu mendorong seorang lelaki ke ambang pintu.
“Kau membunuh darah dagingmu sendiri! Akal sehatmu ditaruh mana hah?! Dimana otak yang kau gunakan untuk bekrja mendapatkan uang? Dimana perasaan yang kau gunakan untuk menyayangi Mona? Apa kau tidak bisa menyayangi Maya? Pergi dari rumah ini!” Wanita itu masih memaki-maki lelaki itu. Dan lelaki itu hanya bisa termangu dalam diam, dan dengan tampang pias menunduk.

“Mengapa kau diam saja? Kau tak berani menjawab? Apa gunanya kau menjadi seorang ayah jika membunuh anakmu sendiri?”, wanita itu besungut-sungut dengan muka merah padam.
“ITU KARNA MAYA BUKAN DARAH DAGINGKU! MAYA ADALAH DARAH DAGING LELAKI LAIN!”, timpal lelaki itu setelah mengumpulkan alasan untuk menjawab.
“Kau… Tutup mulutmu! Tutup harimaumu itu! Maya itu anakku!”, jawab wanita itu sambil terisak.
“Dia anakmu, tapi bukan anakku!”
“Lantas apa artinya janji-janji kau dulu yang ingin menyanyangi anakku?”
“AKU MURKA DENGAN ANAKMU!” jawaban lelaki itu terdengar seperti perasaan amarah yang telah dipendam dalam hatinya sejak lama.

GLEGAAAAAR!!! Suara petir membangunkanku dari mimipi burukku. “Mimpi….itu hanya mimpi.. Mimpi yang berkisah masa laluku.” Adzan subuh berkumandang dari masjid kampung. Aku berusaha bangun dan bergegas mengambil air suci untuk berwudhu. Menuju masjid dengan pikiran yang semrawut. Pikiran tentang masa laluku.

Dalam sujud sholat subuhku, aku merasa kepalaku susah diangkat untuk melakukan atahiyyat akhir. Tapi kepalaku benar-benar sulit digerakkan dan aku tidak sadaran diri. Aku hanya merasa kelam. Gelap. Semua gelap.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar