Minggu, 12 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (part II)

Kali  ini mau posting tentang lanjutan cerpen kemaren ya, yang belum tau bisa lihat disini :) So, enjoy reading guys;)

Behari-hari aku tetap duduk dengannya, Kesha memang orang yang cukup asyik, ramah, cerdas, terbuka, dan juga dermawan. Karena hamir setiap jam istirahat, dia selalu membagi sedikit bekal makanannya untukku, padahal aku juga sudah membawa bekal makanan. Terkadang, kalau ada pelajaran yang tidak aku mengerti, dia selalu siap menjelaskan kepadaku. Benar-benar hebat anak ini.

Tetapi tak semua itu berjalan lancar. Kami juga sering bertengkar karna masalah sepele. Pernah saat aku mengambil penghapus tiba-tiba Kesha merebut dan mangakui bahwa penghapus itu miliknya. Karena aku yang menemukannya, aku tak mau kalah dan aku memprotes. Akhirnya aku mengalah, ku berikan penghapus itu pada Kesha. Setelah itu kami masih memperdebatkan karet apa yang digunakan untuk membuat penghapus itu. Sering kali kami juga memperdebatkan sesuatu yang tak wajar untuk diperdebatkan seorang siswi SMA. Seperti siapa yang mengurusi masalah uang kenegaraan, masalah devisa negara, masalah demokrasi, hingga mahalnya ikan para nelayan. Aneh memang, tapi menurutku itu hal yang menarik.

Setelah banyak hal yang kami hadapi bersama, akupun merasa akrab dengannya. Alamak, pergi kemana keteguhanku bahwa aku tak ingin akrab dengannya? Entahlah, aku sudah tidak memikirkannya. Toh pepatah juga bilang bahwa manusia bisa berubah sewakttu-waktu. Tentu saja aku masuk dalam golongan manusia itu. Lagian Kesha juga sudah berjuang semampunya untuk tetap bertahan menjadi temanku dalam menghadapi sikapku itu, tak ada salahnya aku menghargai itu.

Hari ini, entah mengapa aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pujaan hatiku. Dicky namanya. Apa dia punya perasaan padaku? Apa aku bisa menyatakan cinta pada Dicky? Atau aku harus menunggunya untuk menyatakan cinta kepadaku? Entah. Aku tidak tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. "Hei, kamu kok melamun? Ngeliatin siapa sih?", tanya Kesha yang mengagetkan ku. Kesha berusahan mencari-cari arah pandanganku kepada siapa. Aku hanya tersenyum kecil. "Dicky ya!", teriaknya. Sontak aku langsung menutup mulutnya, dan untung saja Dicky tidak mendengarnya. Aku berusaha untuk tidak salah tingkah dan menggoda Kesha untuk menutupinya, "Hah? Eh? Enggak. Hayoooo! Jangan-jangan kamu yang suka pada Dicky!". "Iya, aku suka padanya", jawab Kesha santai tapi penuh keyakinan. Mulutku menganga. Tubuhku lemas. Tak tau apalagi yang harus kukatakan. Bagaimana bisa kami menyukai orang yang sama? Apa aku harus merelakan Dicky untuk Kesha? Atau aku tak memerdulikan perasaan Kesha sehingga aku tetap menyukai Dicky? Hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul dalam pikiranku. Sepertinya Kesha mengerti raut wajah dan kepanikanku saat itu. "Tenang saja, aku hanya bercanda. Aku sangat mendukung rasa sukamu itu", sambung Kesha sambil mengedipkan satu matanya. Kami pun tertawa.

Akhir-akhir ini Dicky sering memandang ke arah bangkuku. Entah memandangi Kesha atau memandangiku. Tapi aku selalu berharap dia memang memandangiku. Kalau memang dia memandangi Kesha, yang kutahu Kesha selalu acuh. Akupun merasa lega dengan sikap Kesha terhadap Dicky. Alangkah baiknya Kesha. Beruntung sekali aku mendapatkan sahabat sepertinya. Sahabat sejati yang selalu mengerti perasaanku. Aku berencana untuk memberitahu pada Kesha tentang perasaanku pada Dicky.

Hari ini, sepulang sekolah Kesha sudah menghilang entah kemana, dia sama sekali tak berpamitan padaku. Karna memang kami biasa pulang bersama. Mungkin saja dia langsung pulang untuk pemotretan seperti beberapa hari lalu, namun hari ini aneh, dia tak berpamitan sama sekali. Akupun berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan. Setelah lama menunggu, aku memutuskan untuk menaikki angkutan umum. Karna aku merasa malas untuk pulang terlalu cepat, aku memutuskan menunggu angkutan umum itu tidak ditempat seperti biasanya, aku ingin memutari kota terlebih dahulu. Saat perjalanan menuju halte angkutan umum, aku bertemu dengan Dicky. Senang bukan kepalang perasaanku saat itu. Namun perasaanku tiba-tiba menjadi rasa sakit karna aku melihat Kesha disana bersama Dicky. Sedang apa mereka?

"Kesha maukah kamu menjadi pacarku?", ucap Dicky sambil memegang tangan Kesha. Ucapan itu terdengar jelas ditelingaku. Kaget, sesak,sakit, bingung, kesal, marah, emosi, semua itu bercampur aduk memenuhi kepalaku dan perasaan-perasaan itu menggumpal dalam hatiku. Kesha yang tiba-tiba sadar akan kehadiranku, langsung menepis genggaman tangan Dicky. Dia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berteriak. "Salsa! Ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku tak bermaksud apapun. Ini hanya......". Aku tak mendengarkan ucapannya lagi. Aku menutup telingaku dan berlari terus menerus tanpa mengalihkan pandanganku ke arahnya yang terus memanggilku. Dicky juga berusaha mengejarku, aku menghiraukannya.  Tanganku tertangkap oleh genggapan Dicky, aku melepaskannya, dan terus berlari sambil menangis. Perasaanku campur aduk.

Esoknya aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah. Pikiranku kacau, aku takut jika masuk sekolah aku tidak bisa mengikuti pelajaran. Kesha terus menghubungiku. Tapi aku acuh dan membiarkannya. Dua hari aku tak masuk sekolah, dua hari itu juga dia tak berhenti untuk menghubungiku. Hari ketiga, akhirnya dia menyerah dan tidak menghubungiku. Aku memikirkan sikap apa yang harus kuambil. Bagaimana harus mengambil keputusan yang bijak agar tak menyakiti siapapun? Aku merasa akan dikhianati. Setelah aku berpikir panjang. Akupun letih. Aku mengingat peristiwa-peristiwa menyenangkan bersamanya. Kesha adalah sahabat terbaikku. Dia tidak pernah sengaja menyakitiku. Dia baik padaku. Dia selalu mengerti apa yang kurasakan dan kupikirkan. Tapi apa yang dia lakukan tiga hari yang lalu. Dia tiba-tiba menghilang dan aku menemukannya saat dia bersama pujaan hatiku, orang yang kusukai, Dicky. 

Setelah beberapa hari tak masuk sekolah, aku memutuskan untuk masuk dan bercerita tentang apa yang kupikirkan. Dan kami pasti bisa bercanda, bertengkar, berdebat, tertawa bersamanya lagi.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minggu, 12 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (part II)

Kali  ini mau posting tentang lanjutan cerpen kemaren ya, yang belum tau bisa lihat disini :) So, enjoy reading guys;)

Behari-hari aku tetap duduk dengannya, Kesha memang orang yang cukup asyik, ramah, cerdas, terbuka, dan juga dermawan. Karena hamir setiap jam istirahat, dia selalu membagi sedikit bekal makanannya untukku, padahal aku juga sudah membawa bekal makanan. Terkadang, kalau ada pelajaran yang tidak aku mengerti, dia selalu siap menjelaskan kepadaku. Benar-benar hebat anak ini.

Tetapi tak semua itu berjalan lancar. Kami juga sering bertengkar karna masalah sepele. Pernah saat aku mengambil penghapus tiba-tiba Kesha merebut dan mangakui bahwa penghapus itu miliknya. Karena aku yang menemukannya, aku tak mau kalah dan aku memprotes. Akhirnya aku mengalah, ku berikan penghapus itu pada Kesha. Setelah itu kami masih memperdebatkan karet apa yang digunakan untuk membuat penghapus itu. Sering kali kami juga memperdebatkan sesuatu yang tak wajar untuk diperdebatkan seorang siswi SMA. Seperti siapa yang mengurusi masalah uang kenegaraan, masalah devisa negara, masalah demokrasi, hingga mahalnya ikan para nelayan. Aneh memang, tapi menurutku itu hal yang menarik.

Setelah banyak hal yang kami hadapi bersama, akupun merasa akrab dengannya. Alamak, pergi kemana keteguhanku bahwa aku tak ingin akrab dengannya? Entahlah, aku sudah tidak memikirkannya. Toh pepatah juga bilang bahwa manusia bisa berubah sewakttu-waktu. Tentu saja aku masuk dalam golongan manusia itu. Lagian Kesha juga sudah berjuang semampunya untuk tetap bertahan menjadi temanku dalam menghadapi sikapku itu, tak ada salahnya aku menghargai itu.

Hari ini, entah mengapa aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pujaan hatiku. Dicky namanya. Apa dia punya perasaan padaku? Apa aku bisa menyatakan cinta pada Dicky? Atau aku harus menunggunya untuk menyatakan cinta kepadaku? Entah. Aku tidak tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. "Hei, kamu kok melamun? Ngeliatin siapa sih?", tanya Kesha yang mengagetkan ku. Kesha berusahan mencari-cari arah pandanganku kepada siapa. Aku hanya tersenyum kecil. "Dicky ya!", teriaknya. Sontak aku langsung menutup mulutnya, dan untung saja Dicky tidak mendengarnya. Aku berusaha untuk tidak salah tingkah dan menggoda Kesha untuk menutupinya, "Hah? Eh? Enggak. Hayoooo! Jangan-jangan kamu yang suka pada Dicky!". "Iya, aku suka padanya", jawab Kesha santai tapi penuh keyakinan. Mulutku menganga. Tubuhku lemas. Tak tau apalagi yang harus kukatakan. Bagaimana bisa kami menyukai orang yang sama? Apa aku harus merelakan Dicky untuk Kesha? Atau aku tak memerdulikan perasaan Kesha sehingga aku tetap menyukai Dicky? Hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul dalam pikiranku. Sepertinya Kesha mengerti raut wajah dan kepanikanku saat itu. "Tenang saja, aku hanya bercanda. Aku sangat mendukung rasa sukamu itu", sambung Kesha sambil mengedipkan satu matanya. Kami pun tertawa.

Akhir-akhir ini Dicky sering memandang ke arah bangkuku. Entah memandangi Kesha atau memandangiku. Tapi aku selalu berharap dia memang memandangiku. Kalau memang dia memandangi Kesha, yang kutahu Kesha selalu acuh. Akupun merasa lega dengan sikap Kesha terhadap Dicky. Alangkah baiknya Kesha. Beruntung sekali aku mendapatkan sahabat sepertinya. Sahabat sejati yang selalu mengerti perasaanku. Aku berencana untuk memberitahu pada Kesha tentang perasaanku pada Dicky.

Hari ini, sepulang sekolah Kesha sudah menghilang entah kemana, dia sama sekali tak berpamitan padaku. Karna memang kami biasa pulang bersama. Mungkin saja dia langsung pulang untuk pemotretan seperti beberapa hari lalu, namun hari ini aneh, dia tak berpamitan sama sekali. Akupun berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan. Setelah lama menunggu, aku memutuskan untuk menaikki angkutan umum. Karna aku merasa malas untuk pulang terlalu cepat, aku memutuskan menunggu angkutan umum itu tidak ditempat seperti biasanya, aku ingin memutari kota terlebih dahulu. Saat perjalanan menuju halte angkutan umum, aku bertemu dengan Dicky. Senang bukan kepalang perasaanku saat itu. Namun perasaanku tiba-tiba menjadi rasa sakit karna aku melihat Kesha disana bersama Dicky. Sedang apa mereka?

"Kesha maukah kamu menjadi pacarku?", ucap Dicky sambil memegang tangan Kesha. Ucapan itu terdengar jelas ditelingaku. Kaget, sesak,sakit, bingung, kesal, marah, emosi, semua itu bercampur aduk memenuhi kepalaku dan perasaan-perasaan itu menggumpal dalam hatiku. Kesha yang tiba-tiba sadar akan kehadiranku, langsung menepis genggaman tangan Dicky. Dia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berteriak. "Salsa! Ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku tak bermaksud apapun. Ini hanya......". Aku tak mendengarkan ucapannya lagi. Aku menutup telingaku dan berlari terus menerus tanpa mengalihkan pandanganku ke arahnya yang terus memanggilku. Dicky juga berusaha mengejarku, aku menghiraukannya.  Tanganku tertangkap oleh genggapan Dicky, aku melepaskannya, dan terus berlari sambil menangis. Perasaanku campur aduk.

Esoknya aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah. Pikiranku kacau, aku takut jika masuk sekolah aku tidak bisa mengikuti pelajaran. Kesha terus menghubungiku. Tapi aku acuh dan membiarkannya. Dua hari aku tak masuk sekolah, dua hari itu juga dia tak berhenti untuk menghubungiku. Hari ketiga, akhirnya dia menyerah dan tidak menghubungiku. Aku memikirkan sikap apa yang harus kuambil. Bagaimana harus mengambil keputusan yang bijak agar tak menyakiti siapapun? Aku merasa akan dikhianati. Setelah aku berpikir panjang. Akupun letih. Aku mengingat peristiwa-peristiwa menyenangkan bersamanya. Kesha adalah sahabat terbaikku. Dia tidak pernah sengaja menyakitiku. Dia baik padaku. Dia selalu mengerti apa yang kurasakan dan kupikirkan. Tapi apa yang dia lakukan tiga hari yang lalu. Dia tiba-tiba menghilang dan aku menemukannya saat dia bersama pujaan hatiku, orang yang kusukai, Dicky. 

Setelah beberapa hari tak masuk sekolah, aku memutuskan untuk masuk dan bercerita tentang apa yang kupikirkan. Dan kami pasti bisa bercanda, bertengkar, berdebat, tertawa bersamanya lagi.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Minggu, 12 Agustus 2012

Penyesalan dan Kata Maaf (part II)

Kali  ini mau posting tentang lanjutan cerpen kemaren ya, yang belum tau bisa lihat disini :) So, enjoy reading guys;)

Behari-hari aku tetap duduk dengannya, Kesha memang orang yang cukup asyik, ramah, cerdas, terbuka, dan juga dermawan. Karena hamir setiap jam istirahat, dia selalu membagi sedikit bekal makanannya untukku, padahal aku juga sudah membawa bekal makanan. Terkadang, kalau ada pelajaran yang tidak aku mengerti, dia selalu siap menjelaskan kepadaku. Benar-benar hebat anak ini.

Tetapi tak semua itu berjalan lancar. Kami juga sering bertengkar karna masalah sepele. Pernah saat aku mengambil penghapus tiba-tiba Kesha merebut dan mangakui bahwa penghapus itu miliknya. Karena aku yang menemukannya, aku tak mau kalah dan aku memprotes. Akhirnya aku mengalah, ku berikan penghapus itu pada Kesha. Setelah itu kami masih memperdebatkan karet apa yang digunakan untuk membuat penghapus itu. Sering kali kami juga memperdebatkan sesuatu yang tak wajar untuk diperdebatkan seorang siswi SMA. Seperti siapa yang mengurusi masalah uang kenegaraan, masalah devisa negara, masalah demokrasi, hingga mahalnya ikan para nelayan. Aneh memang, tapi menurutku itu hal yang menarik.

Setelah banyak hal yang kami hadapi bersama, akupun merasa akrab dengannya. Alamak, pergi kemana keteguhanku bahwa aku tak ingin akrab dengannya? Entahlah, aku sudah tidak memikirkannya. Toh pepatah juga bilang bahwa manusia bisa berubah sewakttu-waktu. Tentu saja aku masuk dalam golongan manusia itu. Lagian Kesha juga sudah berjuang semampunya untuk tetap bertahan menjadi temanku dalam menghadapi sikapku itu, tak ada salahnya aku menghargai itu.

Hari ini, entah mengapa aku tak dapat mengalihkan pandanganku dari pujaan hatiku. Dicky namanya. Apa dia punya perasaan padaku? Apa aku bisa menyatakan cinta pada Dicky? Atau aku harus menunggunya untuk menyatakan cinta kepadaku? Entah. Aku tidak tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. "Hei, kamu kok melamun? Ngeliatin siapa sih?", tanya Kesha yang mengagetkan ku. Kesha berusahan mencari-cari arah pandanganku kepada siapa. Aku hanya tersenyum kecil. "Dicky ya!", teriaknya. Sontak aku langsung menutup mulutnya, dan untung saja Dicky tidak mendengarnya. Aku berusaha untuk tidak salah tingkah dan menggoda Kesha untuk menutupinya, "Hah? Eh? Enggak. Hayoooo! Jangan-jangan kamu yang suka pada Dicky!". "Iya, aku suka padanya", jawab Kesha santai tapi penuh keyakinan. Mulutku menganga. Tubuhku lemas. Tak tau apalagi yang harus kukatakan. Bagaimana bisa kami menyukai orang yang sama? Apa aku harus merelakan Dicky untuk Kesha? Atau aku tak memerdulikan perasaan Kesha sehingga aku tetap menyukai Dicky? Hanya pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul dalam pikiranku. Sepertinya Kesha mengerti raut wajah dan kepanikanku saat itu. "Tenang saja, aku hanya bercanda. Aku sangat mendukung rasa sukamu itu", sambung Kesha sambil mengedipkan satu matanya. Kami pun tertawa.

Akhir-akhir ini Dicky sering memandang ke arah bangkuku. Entah memandangi Kesha atau memandangiku. Tapi aku selalu berharap dia memang memandangiku. Kalau memang dia memandangi Kesha, yang kutahu Kesha selalu acuh. Akupun merasa lega dengan sikap Kesha terhadap Dicky. Alangkah baiknya Kesha. Beruntung sekali aku mendapatkan sahabat sepertinya. Sahabat sejati yang selalu mengerti perasaanku. Aku berencana untuk memberitahu pada Kesha tentang perasaanku pada Dicky.

Hari ini, sepulang sekolah Kesha sudah menghilang entah kemana, dia sama sekali tak berpamitan padaku. Karna memang kami biasa pulang bersama. Mungkin saja dia langsung pulang untuk pemotretan seperti beberapa hari lalu, namun hari ini aneh, dia tak berpamitan sama sekali. Akupun berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan. Setelah lama menunggu, aku memutuskan untuk menaikki angkutan umum. Karna aku merasa malas untuk pulang terlalu cepat, aku memutuskan menunggu angkutan umum itu tidak ditempat seperti biasanya, aku ingin memutari kota terlebih dahulu. Saat perjalanan menuju halte angkutan umum, aku bertemu dengan Dicky. Senang bukan kepalang perasaanku saat itu. Namun perasaanku tiba-tiba menjadi rasa sakit karna aku melihat Kesha disana bersama Dicky. Sedang apa mereka?

"Kesha maukah kamu menjadi pacarku?", ucap Dicky sambil memegang tangan Kesha. Ucapan itu terdengar jelas ditelingaku. Kaget, sesak,sakit, bingung, kesal, marah, emosi, semua itu bercampur aduk memenuhi kepalaku dan perasaan-perasaan itu menggumpal dalam hatiku. Kesha yang tiba-tiba sadar akan kehadiranku, langsung menepis genggaman tangan Dicky. Dia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dia berteriak. "Salsa! Ini nggak seperti yang kamu lihat. Aku tak bermaksud apapun. Ini hanya......". Aku tak mendengarkan ucapannya lagi. Aku menutup telingaku dan berlari terus menerus tanpa mengalihkan pandanganku ke arahnya yang terus memanggilku. Dicky juga berusaha mengejarku, aku menghiraukannya.  Tanganku tertangkap oleh genggapan Dicky, aku melepaskannya, dan terus berlari sambil menangis. Perasaanku campur aduk.

Esoknya aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah. Pikiranku kacau, aku takut jika masuk sekolah aku tidak bisa mengikuti pelajaran. Kesha terus menghubungiku. Tapi aku acuh dan membiarkannya. Dua hari aku tak masuk sekolah, dua hari itu juga dia tak berhenti untuk menghubungiku. Hari ketiga, akhirnya dia menyerah dan tidak menghubungiku. Aku memikirkan sikap apa yang harus kuambil. Bagaimana harus mengambil keputusan yang bijak agar tak menyakiti siapapun? Aku merasa akan dikhianati. Setelah aku berpikir panjang. Akupun letih. Aku mengingat peristiwa-peristiwa menyenangkan bersamanya. Kesha adalah sahabat terbaikku. Dia tidak pernah sengaja menyakitiku. Dia baik padaku. Dia selalu mengerti apa yang kurasakan dan kupikirkan. Tapi apa yang dia lakukan tiga hari yang lalu. Dia tiba-tiba menghilang dan aku menemukannya saat dia bersama pujaan hatiku, orang yang kusukai, Dicky. 

Setelah beberapa hari tak masuk sekolah, aku memutuskan untuk masuk dan bercerita tentang apa yang kupikirkan. Dan kami pasti bisa bercanda, bertengkar, berdebat, tertawa bersamanya lagi.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar