Aku terenyuh oleh keindahan senja. Suara desah angin menambah suasana matahari untuk menghilang. Debur ombak seraya mengiringinya. Pantai, selalu menjadi tempat penuh asa.
“Hei, melamun saja. Bukankah ini tempat yang kamu sukai?” seseorang mengagetkanku.
Aku tersenyum.
“Hanya tersenyum? Tidak ada respon lain selain senyuman?” dia mulai protes.
“Lalu kamu minta apa?”
“Aku tidak tau.” Jawabnya tanpa berdosa.
Aku berdiri lalu meninggalkannya.
Percakapan kecil di sore tadi masih terngiang dikepalaku. Untuk gadis berumur 19 tahun sepertiku, terlalu sulit untuk menerima kenyataan pahit. Mungkin aku belum cukup dewasa. Teman sekamarku sudah terlelap sejak satu jam yang lalu. Kegiatan study tour untuk penelitian membuatnya lelah. Sedangkan aku masih terjaga. Entah apa sebabnya, rasanya mataku sulit untuk tertutup. Keheningan di tiap sudut kamar menambah suasana kelabu di otakku. Sepertinya sudah seribu kali berganti posisi untuk tidur, tetap saja tidak berhasil.
“Risaaa.. Kau ini kenapa dari tadi? Bolak-balik posisi, menggnggu tidurku saja.” teman sekamarku terbangun akibat ulahku dengan logat Sumatra. Namanya Eliana, dia asli Palembang, tapi entah kenapa logatnya terdengar seperti logat Batak.
“Hihi, belum bisa tidur , El.” Aku terkikik.
“Yaelah, tidur itu mudah. Kau tinggal memejamkan mata saja.” Ujarnya sambil memeluk guling untuk melanjutkan tidurnya.
Aku membuka pintu menuju balkon kamar. Dinginnya malam mungkin bisa menghantarkanku tidur, pikirku. Suasana penginapan dekat pantai memang menyenangkan. Percakapan senja itu benar-benar memperparah malamku.
“Anak kecil seharusnya sudah tidur.” Dia lagi. Tanpa berdosa mengagetkanku dari lantai atas.
Aku mendongkak. Dia tertawa. Aku berbalik dan menutup pintu, memutuskan untuk tidur. Rupanya penghantar tidurku dia.
***
“Kriiiiing! Kriiiiiing!” alarm telepon genggam Eli menyambut pagiku.
“El, bangun. Alarmnya sudah manggil kamu.” Kataku dengan keadaan setengah sadar.
“Hhhh… Iya.” Ujar Eliana seraya terbangun dan mengambil telepon genggamnya.
Rencanaku untuk melihat syahdunya pesona matahari terbit gagal. Aku dan Dea berjalan menuju ruang makan untuk sarapan.
“Selamat pagi Nona yang suka sekali melamun.” Sapaannya merusak pagiku.
“Hei boy, kau ini pagi-pagi sudah sok kenal sok dekat dengan mahasiswi lain, Lekas sarapan, cacingku sudah protes ini.” Kata temannya santai. Sepertinya spesies ini sejenis dengan Eli, orang Sumatra. Dengar-dengar namanya Pukat.
Dia melotot pada Pukat dan segera menarik Pukat menuju ruang makan. Eli tertawa terbahak. Aku ganti melototi Eli.
“Hahaha orang Sumatra itu lucu juga ya, unik. Wajahnya juga unik, seperti perawakan Cina. “
“Kamu suka ya padanya?” kataku licik.
“Oi? Tahu namanya saja tidak.” Wajah Eli merah padam.
Aku giliran menertawainya.
Suara denting piring mengiringi hiruk pikuk obrolan mahasiswa-mahasiswi yang sedang sarapan.
“Hahahaha kalian lucu ya, apa salahnya untuk sedikit membuka hati sih?” Eli tertawa membuka percakapan.
“Kalian siapa? Membuka hati? Apa maksudmu?” aku terheran.
“Kau lah dan si dia. Iya, membuka hati untuk menerimanya.”
“Dia siapa? Tadi apa kamu bilang? Lucu? Menerima? Memangnya dia siapa?” aku semakin bingung.
“Kau ini macam wartawan saja, banyak tanya sekali.” Eli terbahak.
“Jika tidak mau ditanyai, tidak usah memberi pernyataan dengan sejuta pertanyaan.” Aku menyuap sesendok nasi dengan kesal.
“Yelah. Yelah, begitu saja marah” Eli menyengir. “Itu, yang tadi menyapamu. Kau pikir aku tidak tahu, sore kemarin kan kau mengobrol dengannya di tepi pantai, Tatapan mata kau itu seperti menatap bidadara surga.”
Aku melotot. Meninggalkan Eli yang masih melanjutkan menghabiskan nasi goreng di piringnya.
Selesai sarapan, aku menuju ke pantai. Bermain dengan pasir, melihat busa ombak menari bersama karang, dan bersantai ditemani cakrawala. Aku tersenyum menikmati itu semua. Terkadang aku tertawa melihat burung camar datang ribut menyapa pagiku. Aku seakan senang setiap kali hembusan angin pantai merusak tatanan jilbabku. Setiap kali aku merasa lelah, sebatang pohon kelapa tua siap menopang semua beban pikiran dan hatiku. Mempersilakan batangnya untuk disandari oleh punggungku. Aku merasa tenang. Damai.
“Tadi aku mencarimu, ternyata kamu ada disini.” Dia lagi. Menggangguku.
Aku meninggalkannya.
“Tunggu, mau kemana?”
“Bukan urusanmu, penganggu.” Ujarku ketus.
Dia terdiam. Aku tak menghiraukannya. Bagus jika dia tidak mengejarku.
“Risaaaa, kau kemana saja? Pagi-pagi sudah menghilang. Membuatku repot saja.” Eli menghampiriku dengan muka tertekuk.
“Lecek sekali mukamu. Sini aku setrika.” Aku menggodanya.
“Tidak lucu.” Eli semakin cemberut. “Tadi kau dicari sang bidadara.”
“Bidadara siapa?” aku tak peduli dengan guarauannya
“Itu, si Deka.” Eli menjawab santai.
“Deka, siapa dia?” Aku mengeryitkan dahi.
“Kau tidak tahu Deka?” Ujar Eli kebingungan sambil menyeka peluh di dahi.
Aku menggeleng. “Dia itu yang suka mengusik kau.”
Aku terdiam. “Kau kenapa diam begitu macam singa tidur?” tanya Eli
“Jadi, dia itu namanya Deka.”
“Jadi kau baru tahu?” tanya Eli keheranan.
Aku meringis. “Iya.”
Aku kembali bertemu senja. Memandangi langit dan lautan jingga. Pikiranku melayang ke langit bebas. Menerobos saputan awan yang mendampingi jingga dalam elegi.
Seseorang berdehem. “Maaf aku menganggu senjamu.”
Aku menengok. Membenarkan tatanan jilbab yang tertiup angin. “Tidak menganggu sama sekali.”
“Maaf karena aku selalu mengusikmu. Tapi itu karena tulus dari hatiku.”
“Mengusik? Kamu mengusik tulus dari hati?” aku melipat dahi.
“Eh.. Maksudku aku mengusik karna hanya ingin menghiburmu. Aku tahu pantai ini penuh kenangan bagimu. Aku tau pantai ini selalu mengingatkanmu tentang masa lalu. Aku tahu di pantai ini kamu dan dia pernah bersama. Aku tau dia….” Katanya sambil menyeka peluh leher, sepertinya dia gugup.
“Cukup.” Aku memotong penjelasannya. “Dari mana kamu tahu?”
“Aku mengagumimu sejak dulu. Sejak dia belum menjadi milikmu. Aku hanya pengagum rahasia. Dan saat ini, pertama kalinya aku memberanikan diri untuk…”
“Apa?” lagi-lagi aku memotong penjelasannya. Dia diam.
Kami terdiam dalam keheningan. Hanya ada suara angin yang menemani kami.
“Ta… Tarisa Lintang Gaurinda.”
Aku menoleh. “Ya?” Aku meneguk ludah. “Kau tau namaku?”
“Aku menyukaimu. Aku tahu kamu belum bisa untuk melupakan masa lalumu. Dia sudah di surga. Dia past sedih melihatmu sedih terus-menerus. Dia akan bahagia jika kamu sudah bahagia tanpanya. Cobalah untuk melihat ke depan. Menyambut sesuatu yang akan datang. Aku sedih melihatmu terus melamun. Aku akan mencoba membantumu untuk maju. Jadi, mau kamu bersamaku untuk selanjutnya?”
Aku menatapnya. Dia membalas tatapanku penuh arti. “Aku perlu berpikir..” jawabku. Dia tersenyum.
***
Kegiatan study tour sudah usai. Segala laporan penelitian sudah rampung ku kerjakan. Kesibukanku sudah mulai mereda.
Suara ketukan pintu terdengar lirih melawan suara televisi yang ku tonton. Aku mencoba mengurangi volumenya, bangkit dan menengok ke arah jendela. Berjalan menuju pintu, dan membukanya. Sepi. Pasti anak-anak kecil yang iseng mengetuk-ketuk pintu setiap rumah di komplek ini, pikirku sebal.
Aku berbalik, kakiku terasa menginjak sesuatu. Sepucuk amplop. Mengambilnya dan menuju kamar. Beralaskan bantal untuk punggungku, aku memulai membuka tutup amplop yang dilem rapi. Berisi surat dua lembar bertuliskan tangan. Di pojok kiri atas tertulis rapi:
Untuk Tarisa Lintang Gaurinda.
Akhirnya semua rasa penasaranku terjawab.
Selamat siang Risa. Kamu pastilah bertanya-tanya siapa yang mengetuk pintu siang bolong begini dan melemparkan surat lewat fentilasi pintu. Aku, Radeka Ramawisnu. Kamu pastilah tidak mengenalku jauh, tapi aku, sebaliknya, mengenalmu lebih jauh dari Jembatan Suramadu. Disini aku bukan bermaksud melucu, tapi aku akan menjawab rasa penasaranmu.
Kamu tahu, berminggu-minggu aku menulis surat ini. Selalu muncul rasa gugup dan rasa bersalah. Aku adalah sahabat Mirza Haskafilah, orang yang sangat kamu cintai. Aku yang berada di mobil bersama dia. Aku yang berada di jok kiri disampingnya. Aku yang menemaninya diperjalanan untuk menemuimu. Pertemuan yang kamu paksakan.
Kamu tahu Risa, saat itu Mirza sedang kelelahan, tapi dia selalu menepati janji-janjinya. Dia tidak mau orang yang dicintainya kecewa ditelan janji. Aku memutuskan untuk menemaninya. Aku selalu merasa bersalah jika mengingat semua ini. Bukan, bukan karena aku tidak mencegahnya. Aku sudah memintanya agar aku saja yang menyetir dan mengantarkannya, tapi dia lebih kuat. Dia memaksa agar dirinya sendiri yang menyetir. Aku sudah mencegah dengan segala cara, tapi itulah seorang Mirza, segala caranya tidak bisa dilawan.
Perjalanan berjalan mulus, tapi tiba-tiba aku melihat air mukanya berubah pucat. Dia terlihat gelisah dan akhirnya semua itu terjadi. Tidak ada yang menyangka bahwa saat di simpang tiga yang sepi tiba-tiba muncul mobil pick up dari arah kanan yang artinya menabrak dari sisi sopir, sisi yang ditempati Mirza. Tiba-tiba, semua gelap. Aku tersadar saat berada di ruangan serba putih. Aku bangun dan segera mencari Mirza, menanyakan keadaannya. Tapi gagal, suster dan dokter memaksaku untuk beristirahat. Aku meronta melawan tapi hasilnya tetap nihil.
Baru aku esok harinya mendapatkan kabar bahwa Mirza, orang yang kamu cintai dan yang mencintai kamu, sahabatku, teman ceritaku, berpulang. Saat pemakaman, aku melihat detil lekuk wajahmu yang memancarkan kesedihan mendalam.
Risa, sungguh maafkan aku. Aku bersalah telah gagal mencegah Mirza, menolongnya sebelum semua itu terjadi. Paksaanmu, permintaanmu, benar-benar membutakannya. Bukan, bukan aku menyalahkanmu, tapi itu bukti bahwa dia tulus mencintaimu. Sungguh aku bersalah. Menghilangkan semua kebahagiaan kalian, menenggelamkan kenangan kalian, dan membuatmu bersedih setelah kepergianya.
Kamu tahu, aku mengenalmu sebelum Mirza mengenalmu. Sampai aku menyukaimu, menyayangi, lalu mencintai dalam diam. Kita memang tidak pernah berkenalan tapi hatiku sudah mengenalmu. Tapi ternyata Mirza, sahabatku yang berhasil mendapatka hatimu.
Aku dan dia memang berbeda. Dia seseorang yang pemberani, penuh tantangan, dan bertanggung jawab. Sedangkan aku? Lelaki pemalu, tak pantas mendapatkan sebuah anugerah yang di dapatkan dengan keberanian, bukan rasa malu.
Tapi Risa, aku sungguh mencintaimu. Aku memang tak seberani Mirza, tak setulus Mirza. Tapi bukalah hatimu. Bersihkan debu dan masa kelam dihatimu. Dan simpan kenangan manis kalian di sebuah lemari kecil dalam hatimu. Perkenankan orang baru masuk ke hatimu dan mengisi semua harimu.
Sungguh, maafkan aku. Maafkan atas kelalaianku.
Dari Deka
Tanganku gemetar. Dua lembar surat dari Deka terlepas.
***
"Silakan kopinya."
"Makasih mbak."
Seraya si pelayan pergi, kusesap perlahan cappuccino pesananku. Hangat.
Kulirik jam tanganku.
Satu jam. Sudah satu jam aku berada di cafe yang bahkan sebelumnya belum pernah aku singgahi. Sejenak kuperhatikan sekeliling. Interior cafe ini cukup cantik. Dinding yang berlapis wallpaper berwarna coklat begitu serasi dengan lantainya. Jam antik serta meja-meja kayu yang tampak kuno menambah nuansa vintage. Lagu-lagu akustik yang terus diputar membuatku percaya jika pemilik cafe ini memiliki selera musik yang bagus. Di sudut cafe, terlihat beberapa remaja sibuk bergurau satu sama lain. Di sudut yang lain, sepasang kekasih sedang asik bermesraan. Semua orang larut menikmati suasana. Kecuali aku.
Dan di sinilah aku. Menunggu. Kau tahu? Menunggu ialah pekerjaan yang mengesalkan. Menunggu membuatmu gelisah. Menunggu membuatmu resah dan tak nyaman. Dan kau hanya bisa menduga-duga tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Suara bel menandakan pintu cafe itu terbuka. Seorang laki-laki dengan kaus berwarna cokelat berjalan masuk. Ia terlihat seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang. Aku memalingkan pandangan.
“Maaf aku terlambat. Satu jam.” Dia membuka percakapan seraya melihat jam tangannya. “Tadi aku harus menyelesaikan peker…”
“Cukup. Aku tidak butuh penjelasan itu.” Aku memotongnya.
“Maaf.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Jadi apa tujuanmu mengajakku bertemu?”
“Ikut aku.” dia bangkit dan menarik tanganku.
Aku mengikutinya. Langkah kaki itu tegap, sama dengannya, Mirza.
Aku menaiki motornya. Motor laki-laki. Motornya berjalan dengan kecepatan tinggi.
“Kita mau kemana?” kataku agak berteriak karena melawan suara motor.
“Lihat saja nanti.”
Selama perjalanan yang ada hanya keheningan. Kami sama-sama diam, yang ada hanya suara berisik motornya.
“Maaf aku membawa motor dengan kecepatan tinggi. Kita sudah sampai.”
Kau tahu, tempat yang kami tuju penuh dengan batu-batu bertuliskan nama. Rumput-rumput kecil, dan pohon-pohon kamboja yang menemani. Kami berada di pemakaman. Aku hanya memandang lurus ke depan, memandangi punggungnya. Bulu kudukku terasa berdiri mengikuti langkah kaki Deka menuju sebuah batu nisan bertuliskan nama Mirza Haskafilah. Nisannya yang tertimpa cahaya senja terlihat bercahaya. Aku seperti melihat sosoknya tersenyum melihat kedatanganku dan Deka. Oh Tuhan…
Tanganku menengadah mengiringi doa yang dipanjatkan Deka. Air mata mulai mengalir membasahi pipi. Mirza, lihatlah, sekarang aku sedang bersama orang yang menyayangimu. Orang yang merasa bersalah atas kejadian satu tahun yang lalu. Orang yang selalu mencegahmu sebelum semua itu terjadi. Dan orang yang mencintaiku…
“Dek.. Deka..” kataku terisak memecah keheningan.
“Ya?” jawabnya setelah memandangi dan mengusap-usap nisan Mirza.
“Ayo ki.. kita pulang.” Kataku terbata.
Deka tersenyum.
***
Motornya terhenti si sebuah taman kota. Aku mengikuti dibelakangnya. Duduk di kursi ukir di tengah taman sambil memandangi anak-anak kecil yang berlarian bermain air mancur.
“Mari menikmati senja.” Katanya memulai percakapan.
“Aku suka senja.”
“Aku tahu, senja selalu menjadi lukisan indah dipelupuk matamu.”
Aku tersipu.
“Jadi, apa jawabanmu?”
“Jawaban apa?” aku menoleh, melihat siluet wajahnya.
Dia beganti menoleh. “Surat itu.”
“Aku sudah bisa membuka hati. Untukmu.”
Dia menoleh. Tersenyum dan tertawa riang.
“Aku berjanji pada diriku, padamu, dan pada Mirza. Bahwa aku akan menjaga orang yang Mirza cintai.”
“Tapi kan sekarang kau yang mencintaiku.” Aku mencubit pingganggnya.
“Hei, jangan.” Dia berlari, menghindari cubitanku. Aku mengejarnya.
“DI BAWAH SINAR SENJA HARI INI, KAMU TERLIHAT CANTIK SEKALI.” Katanya berteriak yang membuat anak-anak kecil yang sedang bermain air menoleh.
Aku tersipu. Kami tertawa. Di batas senja, aku menemukannya.